Sabtu, 23 April 2011


ANTARA CINTA, PETE dan JENGKOL

By : HELMY FENISIA
Hari masih terlalu pagi untuk direnungi, tapi tidak bagi Kiara. Di usianya yang hampir tujuh belas sebulan  lagi dia masih belum menemukan tambatan hati. Hhhh..
Gadis itu menarik nafas panjang. Victoria, sahabatnya yang baru masuk kelas langsung menghempaskan tubuhnya ke bangku.
            “Hei, pagi-pagi sudah bengong. Kenapa sih?” Tegur Victoria begitu duduk di sebelahnya.
            “Sudah hampir tujuh belas tahun, tapi belum punya gebetan. Bagaimana ini Ri?” Kiara balik bertanya. Victoria tersenyum.
            “Itu toh masalahnya. Kirain tadi kenapa?” Victoria menggeleng.
            “Kamu sih, kuper! Main kek ke kelas sebelah. Tepe-tepe alias tebar pesona. Jangan di kelas terus!”
            “Kamu kan tahu Ri, aku enggak suka keluyuran kalau tidak ada tujuan. Lagipula alasan aku apa coba kalau ke kelas sebelah? Anak IPS ke kelas IPA, ngapain?” Kiara memandang sahabatnya.
            “Idih, bolot kok dipelihara?! Di sana kan ada Lara, anak satu kompleks kamu. Pura-pura saja ajak pulang sama-sama. Gampang kan?” Sahut Victoria.
            “Lalu?”
            “Ye, masih minta diajari! Ya kamu tebar pandang, cari yang pas lalu pasang senyum. Kau tahu kan kalau anak IPA keren-keren? Jago olah raga lagi, tidak kayak anak kelas kita. Payah!”
            “Benar juga ucapanmu. Seminggu lalu, aku permisi ke toilet waktu pelajaran Pak Simbolon. Kebetulan anak IPA sedang olah raga. Aku lihat dari jauh kalau Elang, kapten basket sekolah kita sedang melakukan shot yang bagus kali.”
            “Makanya, rugi kalau kamu cuma di kelas pas istirahat atau ke perpus.” “Habis, aku kan bawa bontot dari rumah sih Vic. Sayang kan kalau tidak di makan?”
            “Ampun Kiara,  kamu kan bisa numpang makan di kantin. Kalau kamu takut Bu Mar keberatan, ya kamu beli minuman di kantin. Jadi tidak cuma numpang duduk!”
            “Kukasih tahu ya, waktu istirahat itu waktu yang paling tepat buat kita untuk tepe-tepe. Lagi pula kita bukan saja bisa cuci mata dengan melihat cowok yang setingkat dengan kita. Tapi banyak juga kakak kelas yang wara-wiri di kantin. Jadi kesempatan makin banyak untuk cari yang the best.”
            “Ya, sudah. Aku ke sebelah ya, mau setor muka dulu sama Bintang.” Victoria berlalu untuk menemui pacarnya di IPA II.
            “Ada apa Vic, kok senyum-senyum sendiri?” tanya Kiara ketika sahabatnya sudah kembali ke kelas karena lonceng pelajaran pertama sudah terdengar.
            “Tadi aku bilang ke Bintang, buat kenali kamu sama Elang. Dia juga masih jomblo. Kamu mau kan?”
            “Tapi Vic?”
            “Sudah, kau tenang saja. Biar kami yang atur kelanjutannya. Pokoknya pasti siplah.” Victoria mengangkat jempol tangannya.
            Sabtu siang ketika Kiara santai menikmati novel yang baru dibelinya, telepon genggamnya tiba-tiba berdering.
            “Ki, nanti sore kamu dandan yang cantik ya. Kita double date.” Suara Victoria terdengar ceria.
            “Aku akan ke rumahmu pukul enam. Bintang akan jemput kita di rumahmu dengan Elang pukul  setengah tujuh. Setelah makan malam, kita nonton.”
            “Tapi..”
            “Sudah, tak ada tapi-tapian!” Telepon terputus tanpa basa-basi.           
Pukul empat, Kiara berdiri di depan lemari pakaiannya. Ini kencan pertamanya dengan seorang cowok. Dia harus kelihatan menarik.
            Baju baby doll hadiah dari Tante Mirna dari Singapore menjadi pilihannya. Baju berwarna kuning dengan motif bunga lily dipadu dengan celana lagging berwarna hitam. Sederhana, namun membuatnya kelihatan manis, begitu komentar mama.
            Pukul enam Victoria tiba, Kiara yang sudah siap berdandan menyambutnya.
            “Astaga Ki, kau benar-benar tampil beda. Cantik!” Puji sahabatnya.
            “Yang benar, Ri?” Gadis itu mengangguk.
            “Kira-kira Elang suka tidak ya?” Kiara bertanya sambil memandang sahabatnya.
“Aku yakin Elang pasti suka.” Keduanya lalu menuju kamar Kiara di lantai dua.
Seperti biasa, apa lagi yang dilakukan dua orang remaja putri kalau bertemu selain gossip tentang cowok. Apalagi hari ini Kiara akan kencan dengan Elang, kapten basket sekolah mereka.
            “Menurutmu Ki, Elang itu bagaimana orangnya?” Tanya Victoria.
            “Kalau dari tampang sih, memang keren. Prestasi juga baik, selain itu aku tidak tahu.” Kiara mengangkat bahu.
            “Aku dapat bocoran nih dari Bintang.” Bilang Victoria.
            “Apaan?”
            “He..he..he…ternyata tuh, si Elang diam-diam suka sama kamu.”
            “Ah, yang benar Ri? Masa sih, kenal saja tidak.  Kan  tidak pernah sekelas sejak dia masuk di sekolah kita?”
            “Iya sih, tapi Bintang bilang Elang pernah lihat kamu waktu di perpus pas dia mau pinjam buku. Katanya kamu serius sekali waktu itu, dia cuma bisa pandangi wajah kamu dari jauh, enggak berani negur.” Wajah Kiara bersemu merah.
Apa benar, Elang suka dia? Terus, kapan cowok itu melihatnya di perpus. Kok aku tidak tahu ya? Tanya gadis itu dalam hati.
            “Aku jamin, malam ini bakal jadi malam special buat kalian. Tapi ngomong-ngomong kamu suka tidak pada Elang?”
            “Kalau itu sih, aku belum bisa jawab Ri. Cuma aku suka lihat dia kalau lagi tanding. Semangatnya bisa menular ke teman-teman lain.”
            Bunyi klakson terdengar. Kiara merasa dadanya berdebar tak karuan. Rasanya kakinya lemas ketika berjalan menuju halaman rumah.
            “Hai, girls.” Sapa Bintang begitu keduanya muncul.
            “Kenalkan, Elang. Kapten basket kita. Lang, ini pacarku, Victoria dan sahabatnya Kiara.” Bintang mengenalkan ketiganya.
            “Hai, senang berkenalan dengan kalian. Terutama Kiara.” Elang tersenyum penuh arti.
            Setelah kenalan mereka berangkat. Menuju resto favorit tempat kencan Bintang dan Victoria. Untungnya Bintang, Elang dan Victoria hobby ngelawak. Jadi Kiara bisa merasa santai dan tidak terlalu kaku. Setelah makan mereka nonton.
            Malam minggu itu menjadi malam  yang mengesankan bagi Kiara. Apalagi Elang memperlakukannya dengan sangat manis. Meski belum mengatakan cinta, tapi Elang berharap akan ada kencan selanjutnya. Tapi hanya mereka berdua. Dia dan Kiara.
            Malam minggu berikutnya Elang menjemput Kiara, tanpa ditemani Bintang apalagi Victoria. Kali ini benar-benar kencan mereka berdua.
            “Kau belum makan, kan?” tanya  Elang ketika Kiara sudah ada di mobilnya.
            “Belum.”
            “Di jalan Santana, ada warung lesehan yang baru buka dua bulan lalu. Kata teman-teman suasananya enak, menunya juga aneka ragam. Kau tidak keberatan kan kalau kuajak ke warung lesehan?” Elang memandangnya.
            “Tidak, justru bagus, jadi bisa hemat. Lagipula kalau lesehan pastinya makanan tradisional dan banyak pilihan.” Ucap Kiara.
            “Baguslah, tadinya aku ragu mau ajak kamu ke sana. Ada loh, cewek yang sok gengsi tidak mau makan di warung lesehan.” Bilang Elang.
            Lima belas menit akhirnya mereka sampai. Warung yang menjual nasi dengan berbagai lauk pilihan.
            Si pelayan menyodorkan menu ketika mereka memilih meja di sudut ruangan. Duduk bersila di atas tikar ditemani lampu semprong. Suasana beda yang cukup menyenangkan.
            Kiara memilih nasi uduk berikut ice lemon tea. Sedang Elang,
            “Mbak, aku minta nasi goreng pete. Petenya banyakin ya.”  Ucap cowok itu sambil menyodorkan daftar menu kepada pelayan yang berdiri di sisinya. Kiara kaget. Gila! Cowok seganteng Elang makan pete? Ih! Amit-amit!
            “Oh ya, minumnya sama dengan mbak ini saja. Ice lemon tea.” Ucap Elang lagi.
            “Kenapa?” Tanya Elang  melihat perubahan wajah Kiara.
            “Tidak. Suasana di sini menyenangkan ya? Pantasan ramai.” Kiara memandang sekeliling. Menyembunyikan perasaan hatinya.
            “Ya. Makanannya juga enak.”
            Sepuluh menit kemudian , pesanan mereka sudah ada di meja. Nasi goreng pete pesanan Elang benar-benar penuh pete. Ini nasi goreng pete, atau pete goreng pakai nasi ? Pikir Kiara dalam hati.
            Lahap cowok itu menyantapnya. Perut Kiara mual melihat pete-pete yang masuk ke mulut Elang. Cowok itu dengan lincah menggigitnya. Seperti makan kacang saja layaknya. Tak tahan, Kiara membuang pandang. Nafsu makannya tiba-tiba hilang.
            “Hei, Ki. Kenapa makananmu dibiarin begitu?” Tegur cowok itu. Kiara berpaling, memandang cowok di depannya.
            “Ng, apa?”
            “Kenapa makananmu dibiarin begitu, tidak enak ya?” Aroma pete yang khas menyembur dari mulut Elang.
            “Ukhhh.” Kiara terbatuk. Segera ia menutup mulut dan hidungnya.         “Kenapa, kamu sakit ya?”  Gadis itu menggeleng. Wajahnya merah.
            “Kiara, kamu tidak apa-apa kan?” Khawatir, Elang langsung duduk di sampingnya dan mengelus punggungnya.
            Maka sempurnalah mual Kiara. Gadis itu hanya bisa menggeleng. Lalu mendorong cowok itu menjauh.
            “Aku mau ke toilet.” Ucap Kiara sambil berlalu.
            Uh…kencanku rusak gara-gara pete sialan itu! Sungut Kiara dalam hati setelah dia keluarkan makanan di perutnya.
            “Kau tak apa-apa kan, Kiara?” Elang memandangnya khawatir.  Untungnya Kiara sudah mengeluarkan jurus jitu untuk menahan nafas.
            “Tidak.”  Gadis itu menggeleng lalu tersenyum. “Mungkin pencernaanku sedikit terganggu.” Jawabnya.
            “Kalau begitu kau harus rajin makan pete. Pete bagus untuk pencernaan, punya khasiat mencegah berbagai jenis penyakit. Seperti, depresi, Anemia, tekanan darah tinggi, sembelit, kegemukan,       luka lambung dan berbagai penyakit lainnya. Pokoknya pete is the best.”  Ucap cowok itu sambil memasukkan dua biji pete dalam mulutnya.  Ih, maniak pete! Sungut Kiara dalam hati.
            Victoria terkekeh ketika Kiara menceritakan kencannya begitu mereka bertemu Senin.
            “Ha..ha..ha..tidak disangka ya, cowok sekeren dan sengetop Elang doyan pete.” Gadis itu terbahak.
 “Aku bisa bayangkan Ki, nasi goreng pete yang kau katakan itu. Gila, kalau aku sih sudah kutinggal dia.”
            “Tapi aku terlanjur suka pada dia Ri, terlepas dari hobby-nya makan pete. Elang cowok yang baik.”
            “He..he..he..kayaknya kau mulai jatuh cinta ya sama si Raja Pete?” Goda Victoria. Wajah Kiara bersemu merah.
            “Kalau begitu ya, tahankanlah bau naga yang bakal dia sembur saat makan pete.” Ucap Victoria lagi-lagi menggoda.
            “Sudah, sekarang kantin yuk! Bawa sekalian bontotmu. Aku ke sebelah dulu cari Bintang biar kita makan sama-sama.”
            Elang baru selesai ganti pakaian olah raga ketika Bintang, Victoria dan Kiara menuju kantin.
            “Hei, aku ikut.” Teriak cowok itu.
            “Kalian di sini saja, biar kami yang antri beli makan. Mau minum apa Ki?” Tanya Elang pada Kiara. Sedang Victoria diurus Bintang, pacarnya.
            “Teh botol saja.” 
            Beberapa menit kemudian dua cowok itu sudah kembali ke meja mereka. Victoria mengulum tawa ketika mata Kiara melotot dan wajahnya meringis melihat di piring makan Elang ada dua tusuk sate jengkol buatan Bu Mar.
            Ya Tuhan…kenapa cowok seganteng Elang kok suka makanan yang bau-bau sih? Keluh Kiara.
            “Nih, buat kamu satu. Dicoba, enak loh sate jengkol buatan Bu Mar.” Elang menyodorkan setusuk sate jengkol ke dalam kotak makan Kiara.
            “Eh, aku…aku alergi jengkol.” Ucap Kiara bohong.  Cepat-cepat mengembalikannya ke piring cowok itu.
            “Alergi? Kok bisa? Sayang ya, padahal enak loh. Oh ya, nasi goreng pete kemarin kau harus mencobanya. Rasanya beda dengan nasi goreng pete yang pernah kumakan sebelumnya. ” Ucap Elang sambil mengunyah jengkolnya.
            Kiara memandang Victoria yang duduk di hadapannya sambil senyum ditahan.
Untunglah  tak lama lonceng masuk sudah terdengar.
            “Huuuh! Aku bisa mati cengap kalau jadi pacar dia Ri!” Keluh Kiara begitu sampai di kelas.
            “Ha..ha..ha..sudahlah Kiara. Take it easy girl. Masa kamu kalah sama pete dan jengkol? Kalau kamu benar-benar suka Elang, pastinya kamu bisa kan terima apa adanya dia? Termasuk makanan kesukaannya yang serba bau itu.”
            “Tapi Ri, kalau tiap kencan dia makan pete atau jengkol bagaimana?”
            “Enggak sampai segitunya kali Ki. Masa sih tiap malam minggu dia makan pete atau jengkol? Memangnya itu ritual buat dapatkan hati kamu? Ada – ada saja.” Celoteh Victoria.
            “Nah, sekarang kamu pikir sendiri, mau lanjut pedekate sama Elang yang diimpikan seantero cewek di sekolah ini. Atau kamu mau mundur cuma gara-gara pete sama jengkol?” Victoria memandang Kiara .
 Gadis itu diam tak berkata.  Dia terlanjur sayang pada Elang, meski belum resmi jadian, tapi perhatian Elang yang khusus padanya membuat dia merasa terbang di awan-awan. Lagipula, dari sekian banyak cewek cantik di sekolah yang suka pada cowok itu, Elang  memilihnya. Gadis yang boleh dibilang sederhana.
Tahu ah, binguuuung!!! Pekik Kiara sambil memukul meja beberapa kali karena kesal. Victoria tertawa, kasihan Kiara. Cintanya harus berhadapan dengan pete dan jengkol. Dasar nasib…..
           
           
           


           
                       
           

           
           
                                                           
           

           

Rabu, 20 April 2011

VILLA TERPENCIL



HELMY FENISIA

            Gempita musik keras yang diputar di  mobil yang dibawa Boy perlahan dimatikan. Sementara mata teman-temannya menatap kagum pada villa yang berdiri megah di depan mereka.
            “Waww, keren oi,” seru Rani sambil meloncat turun.
            “Iya tuh, hebat lu Boy bisa dapetin tempat oke kayak gini, mana biaya sewanya murah lagi.”  Sony menepuk bahu sahabatnya. Boy tersenyum bangga, memang dia sudah mensurvei beberapa villa yang akan mereka sewa dan hanya ini yang pas untuk kantong mereka. Apalagi ini adalah villa yang paling megah dan bagus dari beberapa villa yang dilihatnya.       
            “Tapi kok kayaknya beda banget ya sama villa-villa yang pernah gue datangi. Kayaknya villa ini terpencil banget, mana di sekelilingnya cuma ada bukit-bukit,” ucap Shera. Perasaannya sedikit tidak enak saat memandang sekeliling villa.
            “Ah elo, gini kan lebih bagus, kita mau ngapain nggak ada yang complain atau marah-marah. Kita di sini kan mau pesta semalaman, betul kan teman-teman?”
            “Yap, gue setuju sama ucapan Boy,” bilang Sony. “Sudahlah nggak usah dipikirin. Lebih baik kita masuk sekarang, udara makin dingin di luar sini.”
            Boy bersiul kecil sambil membuka pintu villa. Mata mereka terbelalak melihat bagian dalam villa itu. Bagunannya merupakan perpaduan  gaya modern dan klasik.
Pintu utama terbuat dari kayu jati asli, begitu pula dengan pegangan pada tangga. Pun beberapa perabot seperti kursi  besar di ruang tamu,  dan mejanya yang berbentuk antik. Tapi di sudut lain dari ruang tamu di beri sentuhan modern dengan sebuah sofa berwarna gading  dan meja dengan kaki yang terbuat dari besi berwarna emas. Dan sebuah lampu berdiri yang lumayan tinggi dengan sinarnya yang agak redup. Benar-benar hebat, Sandra yang sejak tadi memperhatikan ruangan berdecak kagum.
Ruang santai yang dibatasi dengan beberapa anak tangga juga tak kalah menariknya.  Seperangkat audio mewah seakan menyambut mereka. Sofa berwarna pastel yang seirama dengan warna dindingnya  seolah mengoda mereka untuk merasakan keempukan kursi yang pasti berharga mahal itu. Buffet tempat televisi dan  perangkat audio lagi-lagi merupakan kayu jati yang dirancang khusus. Rani dan Shera berlomba menduduki sofa empuk itu sambil berteriak kegirangan seolah mendapat permen yang sudah lama tak mereka dapatkan.
            “Wah, kalo begini sebulan nggak pulang juga nggak papa deh.” Teriak Shera senang.
            “Ah elu, tadi takut!” ejek Rani. Yang lain ikut tertawa.
            Di belakang sofa ada sebuah lukisan yang menarik perhatian Sandra. Lukisan itu lumayan besar tergantung di atas sebuah meja dengan kaki  besi berwarna emas. Sandra memperhatikan lukisan di depannya. Lukisan itu menggambarkan beberapa anak muda yang sedang mengadakan pesta minum-minuman  keras seperti halnya rencana mereka . Tapi Sandra bergidik saat matanya menangkap sesosok wanita yang berdiri di ujung meja bartender yang agak gelap. Hampir tak terlihat karena berada di kegelapan. Wanita itu memakai gaun merah tengah memandangnya dengan pandangan dingin yang membuat bulu romanya berdiri. Apalagi saat dilihatnya tangan gadis itu yang memegang gelas anggur dengan darah yang  mengalir di lengannya.
“Harusnya ada lampu hologram yang meneranginya,” suara Bimo mengejutkannya. “Hei, kurasa suasana di lukisan ini akan mirip dengan kita nanti.” Sambung Bimo lagi dengan semangat. “Kebetulan sekali.”
“Kurasa pemilik villa ini juga sering mengadakan pesta di sini.” Rani mengambil kesimpulan.
            “Lho, lu kenapa sih San, kayak orang takut begitu?” tanya Bimo sambil memandang wajah gadis itu.
“Ah nggak, hanya terkejut tiba-tiba lu ada di belakang gue…” Sandra semakin terkejut dan takut takala matanya tidak lagi menangkap sosok gadis berbaju merah di dalam lukisan itu.
“San,  sebenarnya elu kenapa ?” Bimo kembali bertanya padanya saat dilihatnya Sandra terpaku dengan  wajah pucat.
            “Mungkin kecapekan kali,” tebak Rani.
            Bimo membawa Sandra duduk di sofa, lalu memberinya segelas air.
            “Bim, kurasa tempat ini gak bagus buat kita,” ucap Sandra setelah agak sedikit tenang. Perasaan takut dan tak enak mulai  mengganggunya.
            “Gile, tempat segini bagus lu bilang gak bagus. Gimana sih?” sahut  Boy.
            “Iya nih, kenapa sih kamu San, kesambet ya?” goda Shera.
            Melihat teman-temannya mengejek akhirnya Sandra hanya pasrah. Sekali lagi dipandanginya lukisan di dinding itu.  Masih seperti yang terakhir kali dilihatnya. Apakah hanya perasaanku saja, atau mungkin mataku yang salah lihat, tanya Sandra dalam hati. Akhirnya ia melupakan kejadian tadi setelah Boy memasang perangkat audio yang ada di ruang   santai itu. House music yang hingar-bingar menjadi teman mereka malam itu.
            “Cuit-cuit, ini baru pesta,” Boy bersiul saat Sony mengeluarkan dua botol wisky dari tas ranselnya.
            “Tau nggak, mami gue kira di ransel ini diktat kuliah semua,” cerita Sony sambil tertawa.
            “Wah, kejam banget lu Son. Mami sendiri lu tipu.” Teman-temannya tertawa.
            “Ok guys, lets start the party…” Boy yang sudah tak sabar segera menuangkan wisky untuk teman-temannya. Bimo yang semula duduk sambil menikmati minumannya kini berdiri sambil menari. Erotis sekali gayanya hingga teman-temannya yang melihat tertawa. Shera juga tak mau kalah, dia juga mengikuti gaya Bimo.
            “Wow, ini baru ok..” teriak Boy sambil menambah minuman pada gelasnya. Dipeluknya Rani yang duduk di sampingnya. Gadis itu sudah setengah mabuk, Boy yang melihat gadisnya yang setengah teller langsung memasukkan sebutir obat di gelas Rani. Boy meminumkannya pada Rani. Gadis itu tertawa-tawa sambil entah nyerocos apa. Dan tak lama kemudian di rasakannya sekujur tubuhnya terasa panas. Dilepaskannya baju atas yang dipakainya. Tubuhnya yang putih langsung dicium oleh Boy dengan semangat. Sedang Rani hanya bisa menggeliat.
            Sony yang sibuk dengan shabu-shabunya  menawarkan obat itu pada Sandra. Gadis itu langsung menerimanya, sudah lama juga ia tak menyentuh obat itu. Tak ada salahnya ia mencicipinya sekarang,   lagipula ia ingin melupakan kejadian tadi. Bukankah saatnya untuk bersenang-senang?
            Bimo dan Shera masih asyik dengan goyangnya, kali ini lebih erotis karena Shera sudah ada dalam pelukan Bimo.  Sedang Boy dan Rani sudah ada di kamar dingin yang ber-AC.
            Setengah mabuk oleh pengaruh obat dan minuman Sony berjalan ke kamar mandi. Tapi  setelah sekian lama ia masih tak kembali. Sandra yang heran akhirnya mencari Sony di kamar mandi di dekat dapur. Tidak ada, entah di mana cowok itu.  Sandra mencarinya di kamar tidur utama, ternyata di sana hanya ada Boy yang tengah bermesraan dengan Rani.   Sandra mencari ke ruang lain. Akhirnya dengan tubuh yang  terasa melayang karena pengaruh obat Sandra sampai juga di lantai atas.
            “AHHHHHHHHHH!”suara Sandra terdengar hingga ke bawah. Gadis itu berlari turun dengan wajah ketakutan.
            “Sony…Sony…dia…” Sandra tak dapat meneruskan ucapannya. Seluruh tubuhnya gemetar.
            “Ada apa San, mana Sony?” tanya Bimo.
            “San?” Shera memegang bahu sahabatnya. Gadis itu sepertinya terguncang. Sandra hanya bisa menangis .
            “Ada apa ini?” Boy keluar dengan tubuh telanjang dada.
            “Mana Sony?”
            “Entahlah, tadi Sandra berteriak , kurasa terjadi sesuatu dengan Sony.” Ucap Bimo.
            “Sandra, katakan apa yang terjadi dengan Sony.” Boy mengguncang bahu Sandra.
            “Sony…Sony meninggal.” Sandra berkata sambil menangis.
            “Ada pembunuh di sini, kita harus pulang.” Sandra kembali berucap sambil menatap teman-temannya. Ketiganya saling memandang.
            “Katakan di mana Sony sekarang?” Boy bertanya.
            “Di lantai dua, kamar paling ujung.”
            Serentak Boy dan Bimo naik, sedang Shera menemani Sandra.
            Kondisi Sony mengenaskan. Ia terkapar di  lantai kamar mandi dengan  kedua lengannya seperti tersayat benda tajam, begitu pula dengan lehernya yang hampir putus. Di mulutnya keluar busa. Sedang hidungnya mengeluarkan darah. Boy memandang Bimo.
            “Pasti ada seseorang yang membunuhnya.” Boy berkesimpulan.
            “Siapa yang terakhir bersamanya?” tanya Boy.
            “Sandra, siapa lagi. Aku ada di ruang santai bersama Shera sejak tadi.” Jawab Bimo. ”Tapi, apa mungkin dia?” ucapnya ragu.
            “Entahlah, tapi tidak ada yang lain selain kita berenam. Rani ada bersamaku di kamar waktu kejadian.”
            Keduanya turun dan kembali ke tempat semula. Bimo memandang Boy menunggu temannya itu berbicara.
            “Seseorang telah membunuhnya,” ucap Boy.
            “Tapi..tapi siapa ? bukankah kalian bilang tidak ada orang lain selain kita di sini?” Shera berucap dengan nada cemas.
            “Benar, aku bisa jamin hanya kita yang ada di sini  “ Boy menatap Sandra tajam.
            “Jangan bilang Sandra yang melakukannya.” Ucap Shera sambil berdiri menjauh dari Sandra.
            “Bukan aku…aku sumpah bukan aku.” Kata Sandra dengan wajah yang masih basah oleh air mata.
            “Tapi kau yang terakhir bersamanya, San,” ucap Bimo.
            “Tapi bukan aku Bim!” Sandra berteriak.
            “Kalau bukan kau  lalu siapa, tidak ada orang lain kan? Kalian lihat sendiri kalau villa ini jauh dari villa-villa lain. Dan penjaga villa ini sudah menghilang di balik bukit sejak kita datang tadi.” Suara Boy meninggi.
            “Sudahlah, lebih baik kita tunggu sampai pagi. Kurasa ada baiknya kalau kita mengecek sebentar villa ini Boy,” ucap Bimo.
            “Baiklah.”
            Agak ragu juga Shera tetap berada di dekat sahabatnya itu mengingat apa yang di katakan Boy tadi. Sandra yang membunuh Sony, bukanlah dia tidak ada alibi sama sekali karena memang hanya    Sandra yang terakhir bersama Sony.
            Bimo memeriksa halaman belakang villa dan lantai satu. Sedang  Bimo memeriksa halaman depan dan lantai atas.
            “Tak ada yang mencurigakan.” Bilang Boy.
            “Sudahlah, lebih baik kita istirahat saja dulu. “ Bimo menenangkan suasana.
            “Aku…aku denganmu saja Bim,” Shera mengikut langkah Bimo. Lelaki itu memandang Sandra kasihan.
            “Kita tidur bertiga saja. Tadi kulihat di kamar tengah ada tempat tidur dan juga sofa. Kalian bisa tidur di tempat tidur dan aku di sofa.”
            “Tapi Bim..” Ragu Shera memandangnya. Bimo tahu maksudnya.
            “Tak mungkin ia mempunyai keberanian dan kekuatan untuk membunuh kita berdua.” Ucapnya.
            “Rani…Rani menghilang.” Boy kembali ke ruang santai dengan panik. Bimo dan Shera saling pandang. Gadis itu semakin ketakutan.
            “Pasti ada yang tak beres di villa ini.” Bimo mulai merasakannya. “Ayo kita cari. Jangan ada yang berpencar.”
            Semua mencari, bahkan sampai jauh ke halaman belakang villa yang tak jauh dari bukit. Masih tetap tak ada meski berkali-kali mereka memanggil Rani tapi masih juga tidak ada sahutan.
            “Kurasa dia hanya keluar sebentar untuk ke kamar kecil. Kita kembali saja sekarang.” Ucap Bimo akhirnya.
            “Tapi aku sudah mencarinya di kamar mandi!” Kata Boy.
            “Mungkin tadi dia mencarimu di ruangan lain.” Bimo berusaha berpikir positif. Tak enak menambah rasa takut teman-temannya. Meski dalam hati dia pun mencemaskan Rani.
            “Rani…itu Rani.” Segera Boy berlari saat dilihatnya Rani yang duduk di teras dengan sikap tertidur. Tanpa memakai baju atasan.
            “Rani…” Boy berteriak histeris saat dilihatnya lengan gadis itu telah tersayat benda tajam. Begitu pula dengan tubuh bagian atasnya.
            “Sepertinya memang ada orang lain di sini.” Bimo berkata sambil matanya menatap pada kejauhan malam. Suara binatang malam terdengar di kejauhan.  Sementara Boy masih meratapi kekasihnya.
            “Bim, kurasa lebih baik kita masuk sekarang.” Shera berkata sambil menggigil . Udara dingin di luar dan kegelapan yang berada di depan mereka membuatnya kedinginan dan takut.
            “Kita berkumpul saja di ruangan tadi.” Ucap Bimo.
            “Boy..sudahlah Boy sekarang bukan saatnya untuk meratap. Pikirkan apa yang harus kita lakukan.” Bimo menarik tangan sahabatnya untuk masuk.
            “Kurasa lebih baik kita pergi dari sini.” Sandra berkata sambil memandang Bimo.
            “Tidak, aku tak mau membiarkan Rani sendirian.” Boy berkeras.
            “Tapi Boy, ada pembunuh di sekitar sini.” Ucap Shera yang setuju usul Sandra.
            “Tidak, aku tak akan pergi . Tak mungkin aku meninggalkan Rani sendiri. Pokoknya tidak.”
            “Baiklah. Baiklah, kita tetap di sini. Harus ada yang berjaga-jaga jangan sampai tertidur. Kurasa ada yang tidak suka dengan kehadiran kita di sini, jadi kita perlu hati-hati.” Bimo mengingatkan.
            Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua malam. Semua sudah mengantuk namun tak ada satupun yang berani memejamkan matanya. Sandra yang kebelet pipis pun tak berani beranjak dari tempatnya.
            “Aku..aku ingin ke belakang.” Akhirnya ia sudah tak bisa menahannya.
            “Aku akan menemanimu.”
            “Aku juga ikut.” Shera menguntit dari belakang.
            “Aku di sini saja berjaga-jaga.” Ucap Boy saat Bimo memandangnya.
            Beberapa menit berlalu karena ketiga orang itu bergilir untuk masuk ke kamar mandi. Boy masih terbayang pada Rani yang ada di teras, diraihnya jaket yang ada di kursi dan di bawanya ke teras. Hatinya tersayat melihat keadaan Rani. Ia menutup tubuh gadis itu dengan jaketnya. Sambil mencium tangan gadis itu ia menangis,  kekasihnya meninggal apa yang harus dikatakan pada orang tua Rani nanti. Sungguh ia merasa bersalah.
            Dada Bimo berdetak cepat saat tak di dapatinya Boy di ruang santai. Cowok itu berteriak panik. Dia mencari ke ruang tamu tapi tidak nampak . Akhirnya ia bernafas lega saat mendapati Boy di teras.
“Astaga, kau menakuti kami Boy. Bukankah sudah kubilang untuk tetap bersama. Mungkin saja si pembunuh itu masih ada di sini.” Ucap Bimo .
            “Maaf. Aku hanya tidak tega membiarkan Rani kedinginan sendirian  di sini.” Lalu keempatnya masuk kembali.
            Waktu seakan begitu lamban berjalan. Boy yang mendapat giliran jaga melirik jam tangannya. Baru jam dua lewat, ia menggeliat sejenak meregangkan otot-ototnya. Ia ingin ke kamar mandi, tapi segan rasanya membangunkan Bimo atau yang lain untuk menemaninya. Lagipula sejak beberapa waktu yang lalu keadaan sepertinya mulai aman.
            “AHHHHHHHHHHHHHH!” suara teriak membangunkan ketiga temannya.
            “Boy!” Bimo segera berlari ke arah suara. Diikuti  Sandra dan Shera.
            Di  depan kamar mandi, tubuh Boy terkapar dengan luka sayatan di tangan. Di perut bagian bawah juga   terlihat sayatan yang memanjang .
            “Kalian…kalian harus …” Hanya itu yang sempat diucapkan oleh Boy sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.
            “Sial! Kenapa kalau mau ke belakang nggak bilang. Sial! Kenapa begini jadinya.”Bimo mulai kesal.
            Bimo menghempaskan badannya ke sofa  dengan kesal. “Lebih baik kita pergi dari sini sekarang. “ Bimo memandang kedua gadis yang ketakutan itu.
            “Aku sangat setuju, bukankah sejak semula aku telah mengatakan tempat ini tidak bagus untuk kita.” Sahut Sandra.
            Tapi kunci mobil yang semula dipegang Boy entah ditaruh di mana olehnya. Bimo mengecek kantong baju dan celana Boy. Tidak ada. Mereka mencari ke mana-mana, tapi masih belum jumpa.
            “Sial!benar-benar sial!” Bimo menyepakkan kakinya ke sofa. Dia benar-benar putus asa sekarang.
            “Tak ada jalan lain, kita harus menghadapi pembunuh itu. Aku ingin melihat wajah penjagal keparat itu. Akan kuhabisi dia.” Bimo berjalan ke dapur kemudian memeriksa laci dapur. Dia mengambil  dua buah pisau dapur yang  berkilat.
            “Sandra, periksalah kulkas apakah masih  ada makanan atau minuman untuk kita. “Bimo  memerintah. Sandra mengambil tiga kaleng softdrink dan makanan ringan yang mereka bawa tadi dari dalam kulkas.
            Wajah Sandra berubah pucat saat mereka kembali ke ruang santai. Minuman yang ada di tangannya terjatuh .
            “Ada apa San?” tanya Shera.
            “Lukisan itu…” Sandra mulai gemetar.
            Bimo dan Shera mengamati lukisan di depan mereka. Ada tiga mayat yang terlihat di sana. Seorang cowok tergeletak di lantai dekat sofa dengan luka sayatan di sekujur tubuhnya, kemudian seorang gadis tergeletak di sofa dengan mulut penuh busa. Sedang seorang lagi dengan leher hampir terputus tergeletak di meja bartender.
            “Tadi tidak seperti itu.” Bimo memperhatikan sekali lagi dengan seksama.
            “Kurasa rumah ini berhantu Bim.” Sandra mulai bergidik.
            “Aku pikir juga begitu. Tadi lukisan ini tidak begini. Satu , dua,tiga,empat,lima,e…., lihat ada enam orang yang ada di dalam lukisan ini dan sudah tiga orang yang mati.”
            Sandra memperhatikan. Tapi kembali ia bergidik takala dilihatnya lagi gadis bergaun merah itu di dalam lukisan.
            “Dia, kurasa dia.”
            “Sandra..siapa maksudmu?”
“Gadis  bergaun merah itu.”  Bimo memperhatikan gadis bergaun merah yang dimaksud Sandra. Tapi tidak terlihat.
“Tak ada gadis yang bergaun merah.” Ucap Bimo. Sandra kembali melihat, benar tak terlihat lagi.
“Kurasa kita semua menjadi incarannya.” Shera angkat bicara dengan gemetar. Bimo dan Sandra memandangnya.
“Bukankah kalian bilang, semula lukisan itu tidak begitu bukan? Kini terlihat ada tiga orang yang mati dan masih tampak tiga yang tersisa. Kita di sini ada enam orang dan telah meninggal tiga, jadi kita hanya menunggu giliran siapa berikutnya.” Shera memandang Bimo dan Sandra sambil menangis.
“Aku, aku ingin pulang. Kumohon, bawa aku pulang sekarang.” Shera menangis . Dia benar-benar takut. Pesta yang seharusnya untuk bersenang-senang malah membawa maut bagi mereka. Sungguh malam neraka bagi mereka semua.
“Kalian beristirahatlah, biar aku yang berjaga-jaga.” Ucap Bimo sambil menenangkan kedua temannya.
Mata Bimo sendiri sudah lelah. Begitu pun dengan badan dan pikirannya. Inginnya segera pagi dan pergi dari villa ini. Bimo menoleh saat ia merasa sekelebat bayangan melintas di belakangnya.  Tak ada siapa-siapa. Bimo mulai waspada dan mempertajam pendengaran dan penglihatannya.
Perlahan ia bangkit dari tempatnya. Memeriksa dan waspada dengan pisau di tangannya. Siapapun dan apapun itu ia sudah bertekat melawan.
Kembali sekelebat bayangan melintas , kali ini di teras depan. Bimo berlari ke depan. Sementara itu Shera terbangun karena terganggu oleh kaki Sandra yang menyepaknya. Sungguh lasak sekali Sandra.
Bimo, ke mana Bimo? Jantung Shera hampir berhenti berdetak. Shera memandang ke ruang tamu, matanya melihat sekelebat bayangan dari teras. Segera ia berlari ke luar. Tak ada siapa-siapa.
“Oh Shit! Aku terjebak olehnya.” Sesal Bimo saat kembali ke villa di dapatinya mayat Shera tergeletak dengan baju terkoyak seperti dicakar tak jauh dari tempat Rani. Bahu dan dadanya terkelupas dan seperti yang lain tangannya juga ada luka sayatan.    
            “Sandra, bangun. Kita harus pergi dari sini , Shera sudah meninggal.”
            “Apa?” Rasa kantuknya langsung hilang mendengar ucapan Bimo.
            “Tadi aku keluar sebentar untuk mengecek saat aku melihat sekelebat bayangan . Dan ketika aku kembali aku melihat mayat Shera di luar.”
            Perlahan Sandra memutar kepalanya untuk melihat lukisan di belakangnya. Kali ini sudah empat mayat yang tergeletak. Ia semakin menggigil ketakutan.
            “Tapi dengan apa kita akan pergi. Kunci mobil entah ke mana dan tempat ini sangat jauh.” Seluruh tubuhnya gemetar karena takut.
            “Entahlah, pokoknya kita harus pergi dari sini .” Bimo menarik tangannya.
             “Tapi…” Bimo  ingat sesuatu. “Kurasa kita bisa menggunakan sepeda motor tua yang ada di garasi . “Ucapnya sambil buru-buru berjalan ke garasi. Sandra mengikuti dari belakang. Tak ada kunci pada motor tua itu. Tapi Bimo mencoba berbagai cara untuk menghidupinya.
            “Berhasil,” keduanya berucap semangat. Akhirnya mereka dapat keluar dari villa menakutkan ini, pikir keduanya.
            Sandra naik keboncengan Bimo. Segera cowok itu memacu motor tua yang dikendarainya. Tapi setelah berjalan beberapa lama…
            “San, sadarkah kau kalau ada yang aneh di sini?” Bimo mulai ketakutan. Sandra memperhatikan sekelilingnya.
            “Ya…kita..sudah berapa lama kita berjalan, tapi rasanya masih di tempat yang sama…”Sandra mulai menangis karena takut.
            “Bim, apa yang harus kita lakukan?”
            Kembali sekelebat bayangan melintas. Bimo mulai waspada kembali. Segera ia memacu motor tuanya. Tapi tak bisa melaju. Hanya bannya saja yang bergerak. Sandra  memeluk Bimo erat.
            Suara cekikikan menambah seram pagi yang gelap. Kelebat bayangan berbaju merah itu terbang ke sana kemari melintas di depan mereka.
            “Aku tidak takut padamu,” tantang Bimo sambil memandang sekeliling.
            “Bim,” Sandra cemas.
            “Aku akan melawannya.” Ujar Bimo dengan tegas.
            Kembali suara menyeramkan itu terdengar. Bimo mencoba untuk memacu motor tuanya dan berhasil. Tapi keduanya terpental ke tanah saat motor menabrak batu besar yang tidak terlihat oleh mereka.
            “San, kau tak apa-apa?” Bimo menghampiri Sandra yang terhempas cukup kuat hingga gadis itu muntah darah.
            “Tidak, aku hanya ingin pulang.” Susah payah Sandra berbicara. Ia tahu mereka tak akan menang melawan hantu wanita itu. Tapi ia ingin pulang.
            “Dengar, aku tak tahu siapa kau. Tapi kami tak bermaksud mengganggumu. Jadi jangan ganggu kami lagi.” Teriak Bimo pada hantu bergaun merah itu.
            Suara tawa terdengar, “Tapi aku suka mengganggu kalian. Aku akan menghabisi kalian semua.” Sahutnya kembali tertawa dengan suaranya yang bisa menaikkan bulu roma.
            Bimo mencoba meraih motor tuanya yang tergeletak tak jauh darinya. Tapi saat ia naik ke motornya , motor itu  melaju sendiri dengan cepatnya. Bimo yang tak mempersiapkan diri terhempas dengan badan terbanting ke pohon. Bagai ada yang mengendarai motor itu sekali lagi melaju kencang. Bimo yang masih kepayahan tak sempat menghindar saat motor tua itu menabraknya.
            “Bim..Bimo..” kini tinggal Sandra yang terpaku di tempatnya, tak tahu kini bagaimana keadaan Bimo sekarang.  Ia berusaha berdiri. Tapi suara tawa yang menyeramkan dan sekelebat bayangan itu kembali mengganggunya. Sandra berusaha melarikan diri. Susah payah dirinya berlari sambil sesekali memanggil nama Bimo.
            “Ah,” Kaki Sandra kesandung dan ia terjatuh oleh sesuatu.
            “Bimo….” Tubuh Bimo yang terkapar dengan luka di dada  akibat tertusuk pedal motor tua , sedang bahu atasnya hampir putus akibat terpotong benda tajam. Sandra benar-benar tak kuat lagi. Dan tiba-tiba saja ia sudah pingsan karena tak tahan melihat mayat Bimo yang tergeletak mengenaskan di depannya. .
            Ketika ia sadar, beberapa orang sudah mengelilinginya. Dan mayat Bimo mulai dievakuasi oleh orang-orang di sana.
            “Bimo…Bimo….”Hanya itu yang bisa diucapkannya saat beberapa orang bertanya padanya. Mata gadis itu tampak kosong, ia seakan kehilangan seluruh kesadarannya. Polisi juga sudah datang di TKP, karena tidak ada ambulans Sandra di bawa ke puskesmas terdekat dengan mobil polisi untuk mendapatkan perawatan intensif.
            Penduduk desa setempat sudah dapat menebak apa yang telah terjadi. Hantu gaun merah pasti kembali mengganggu penyewa villa terpencil itu lagi. Mereka juga tahu, hantu itu tidak sembarang mengganggu orang yang menyewa villa itu selain karena ia ingin memberi pelajaran kepada mereka yang berbuat tidak senonoh di villa itu.
            Sepuluh tahun yang lalu, gadis bergaun merah itu   mengadakan pesta semalam suntuk untuk merayakan kelulusan bersama teman-teman SMU-nya. Dan beberapa teman cowoknya membawa minuman keras dan obat-obatan . Tapi sialnya tanpa sepengetahuan dirinya teman-temannya membubuhkan obat perangsang di minumannya. Hingga ia diperkosa oleh beberapa temannya secara bergilir.  Saat tersadar semua teman-temannya sudah pergi meninggalkannya sendiri. Dan di pagi itu, saat matahari baru beranjak dari ufuk timur di tengah penyesalan dan keputusasaannya, ia memutuskan untuk membunuh dirinya dengan pecahan kaca bekas gelas minumnya. Sejak itu pula setiap penyewa villa yang mengadakan pesta serupa pasti akan diganggu dan dibunuh olehnya

PUISI

 KAU MENGHILANG

Di bayangmu aku berjalan
menyusuri lorong-lorong kisah yang tak terbaca

Ketika gundah menyapa
aku memandang resah

masih ada dirimu di puing asa
ingin kukutip dan kurangkai kembali
Namun angin membawanya jauh

Saat kubuka lembar waktu
Kau masih di situ

namun ketika ingin kusentuh
kau pergi dan menghilang dari hidupu..

UNTUKMU

Di resahku kulukis kenangan                                          
bersama sederet kisah tiga belas tahun silam

Walau melangkah menjemput waktu
namun jiwaku masih tertinggal

Andai dapat kuhapus bayang
melupakan cerita tentang dirimu

Jantungku masih berdetak
untuk dirimu...

UNTUK SEBUAH NAMA…

Di dadaku,
Ada rindu yang tak biasa
Hingga resah memaksaku meneteskan lara

Dan hari itu ketika bumi mengguncang marah
Laut menumpah amarah
Kuberdoa untuk sebuah nama

Masihkah sempat sua memihak padaku
Membawa kita pada sebuah waktu
Agar aku dapat memandang dan memanggil dirimu

Walau detik kian deras
Dan nasib tak pernah ramah
Izinkan aku lantunkan doa
Agar di sana bersama mereka
Engkau dijaga dalam kepak sayapNya..


AKU GAMBARAN DIRIMU

Di tubuhku kau teteskan darah
Lalu kau pergi tinggalkan kisah
Bersama gambaran wajahmu
Aku melihat diriku

Di tempat ini
Masih kuharap kau ada
Walau sebatas mimpi
Itu cukup bagiku

Aku lelah menuai lara
Menekan rasa bernama rindu
Bersama gelisah dan kisah tentangmu
Kujalani hidup tanpamu

Tak dapat kujaring waktu yang berlalu
Namun kubangun angan untuk secuil sua
Agar bibir ini walau terdengar kelu
Dapat kupanggil namamu

Karya : HELMY FENISIA


Puisi

Teruntuk  Bapak dan Ibu Guru

KAU-lah PAHLAWAN

Setelah kujejak langkah
Meninggalkan waktu yang kian melaju
Bersama asa dan cita – cita
Kini kuberdiri di atas jaya

Namun kusadar
Semua tak mungkin datang begitu saja
Teringat saat kueja kata pertama
Semua itu karena dirimu

Ketika kau tuang ilmu
Pada gelas kehidupanku
Kuteguk dan tak kusisakan haus

Kuingat pada pahlawan tanpa jasa
Yang membimbingku untuk melangkah

Saat ini setelah masa merenggut jumpa
Kita berdiri di sini merenda cerita
Beda..tentu saja…sebab waktu memisah sekian lama
Namun kau tetap pahlawan
Yang membawaku menang
Meraih masa depan

Untuk alumni PK3M '95

SAHABAT
Oleh : Helmy Fenisia
Untuk alumni KK angkatan 1995

Kembali….
Waktu membawamu padaku
Setelah sekian waktu meretas
Bersama jejak-jejak langkah yang jauh

Di sini…
Kita merenda tawa seperti dulu
Bercerita tentang dirimu dan diriku
Lalu kembali terdengar gelak
Seperti masa SMU dulu.

Di lain waktu…
Masihkah ada kesempatan seperti ini lagi
Ataukah akan saling melupa
Entahlah…biarlah kunikmati waktu ini
bersamamu…
sembari berharap jalinan indah ini akan ada selamanya

Karya HELMY FENISIA



Selasa, 19 April 2011

RAHASIA HATI


BY       : Helmy Fenisia
Angin musim semi menyentuh wajahku lembut,  semerbak wangi bunga-bunga   yang bermekaran  membantuku menekan kekecewaan yang diam-diam kusimpan. Bulan ini adalah bulan keenam  tanpa kehadiran surat Dave. Tak seperti biasanya surat Dave absen selama ini. Sesibuk apa pun ia , pasti akan menyempatkan diri untuk membalas suratku. Tapi kini, telepon untuk sekedar say hello pun tidak.
Aku  membaca kembali kartu pos terakhir yang ia kirim bersama foto dirinya enam bulan yang lalu , Aku akan terus mencintaimu, tulisnya ,sampai kamu bisa belajar menerimaku bukan lagi sebagai seorang sahabat tetapi seseorang yang mempunyai arti lebih dalam hidupmu. Dari yang mencintaimu, Dave.
            Benarkah ia mencintaiku? Lalu mengapa ia tak menelponku, tidak membalas suratku? Tuhan, mengapa aku jadi memikirkannya? Sejak dua surat yang kukirim untuknya empat bulan lalu tak ia balas, entah mengapa perasaan lain datang mengusik hatiku. Perasaan kehilangan, takut untuk ditinggalkan telah membuatku gelisah.
Aku mengenal Dave empat tahun yang lalu melalui suatu perkumpulan korespondence internasionl. Semula aku tak mengira persahabatan yang telah berjalan cukup lama ini akan berubah seperti  ini. Aku selalu menganggap Dave sahabat sekaligus kakak lelaki yang selama ini tak pernah kupunya.
            Segala sesuatu selalu kuceritakan padanya, tak ada satupun yang kurahasiakan, karena aku percaya padanya. Ia juga dapat membantuku saat aku butuh pendapat maupun nasehatnya. Ia selalu mampu menghiburku, menyenangkan aku dengan cerita-ceritanya.            Namun entah mengapa, tiba-tiba saja ia mengungkapkan sesuatu yang sudah lama ia simpan padaku, perasaan cintanya. Ia mengaku kalau ia mencintaiku. Entah apa yang harus kujawab saat itu, aku hanya mampu untuk diam.
Kupikir, Dave mungkin hanya bercanda dan bermaksud mempermainkanku. Kami tak pernah bertemu sebelumnya, jadi tak mungkin rasa itu hadir begitu saja tanpa adanya pertemuan. Aku juga berterus terang padanya tentang perasaanku yang tak pernah berubah terhadap orang yang pernah kucintai. Dulu bahkan sampai kini meski kutahu masa lalu tak akan bisa kuraih lagi.
Aku selalu menghindar saat ia mulai membicarakan perasaannya padaku saat ia menelpon, mengacuhkan kata-kata cintanya saat ia mengirimkan aku surat dan kartu –kartu manis. Tapi entah mengapa kini aku malah gelisah dengan ketidakhadiran surat-suratnya. Aku juga rindu dengan suaranya, candanya dan semua cerita lucunya.
“Aduh,” setangkai bunga tulip tiba-tiba saja dilemparkan seseorang ke arahku. Aku melihat ke bawah , di luar Mike nyengir dengan senyum kudanya. Cowok sialan itu selalu saja mengganggu keasyikanku. Tapi senyum dan tingkahnya kadang juga mampu membawaku keluar dari kesedihan. Ia seperti Dave  bagiku.
            “Mayako,  ayo turun, jangan melamun terus. Ayo nikmati musim semi ini, lihat orang-orang pada berkumpul di taman.” Mike melambaikan tangannya sambil menyuruhku turun.
            Musim semi memang musim yang paling disenangi orang-orang di sini, wangi aneka bunga yang bermekaran, aroma pohon-pohon yang khas dan kicau burung seakan membawa kedamaian. Dari balkon kamarku aku dapat melihat taman kota yang mulai ramai dengan anak-anak yang bersepeda, orang tua yang bersantai juga anjing-anjing yang turut bermain menemani majikannya. Suatu pemandangan yang indah apalagi di hari Minggu yang cerah begini. Aku jadi teringat masa lalu saat aku masih tinggal di Tokyo, saat seperti ini bunga-bunga sakura mulai bermekaran di sepanjang jalan. Bahkan di halaman sekolah pun aku dan teman-teman suka sering duduk di bawah pohon sakura. Seperti tengah berlindung di bawah payung berwarna merah jambu.
            “Nih, lain kali jangan sembarangan mencabut bunga ,” ucapku sambil mengembalikan bunga tulip yang tadi dilemparkan padaku. “Aku nggak tanggung jika nanti kamu dimarah oleh penjaga taman.”
            “Siapa bilang aku mencabutnya dari sana?” Mike memandangku sambil tersenyum.
            “Lihat tuh, aku mencabutnya dari halaman rumahmu. Lumayan juga, ternyata kamu bakat jadi tukang kebun,” ucapnya sambil memandangku nakal.
            “Mike,” aku menjerit karena jengkel dan satu jitakan mampir di kepalanya. Ternyata anak sialan ini mencabut bunga tulipku yang baru mekar  pagi tadi..
            “Jahat, itu bunga pertama yang mekar sejak kutanam.” Aku hampir menangis. Sore kemarin  bunga itu hanya kupandangi karena nggak tega untuk memetiknya, tapi dia malah seenaknya saja.
            “Mayako, Mayako aku minta maaf, “ ucapnya dengan tatapan menyesal,” Aku akan menebusnya dengan mentraktirmu, bagaimana?”
            “Harus yang paling enak dan paling mahal,” sahutku langsung. Biar tahu rasa dia.           
            “Ng…, baiklah,” ucap Mike akhirnya.
            “Aku ingin makan pizza dan… ,” .
            “Baiklah, kita ke tempat Adam, ” potongnya sebelum sempat kusebut nama makanan yang  kurasa paling mahal bagi kantongnya.
            “Sekarang?” tanyaku  dengan mata melotot. Aku baru saja sarapan satu jam yang lalu, bagaimana aku bisa menikmati pizza kesukaanku dengan perut yang masih penuh. Dasar Mike, iklas nggak sih mau traktir aku.
            “Jangan melotot begitu, jelek tahu! Aku tahu, kamu baru sarapan kan, nanti malam saja. Kita ke taman sekarang.” Mike menggandeng tanganku sambil menyeberang.
            “Sejak aku pulang, aku selalu melihat wajahmu murung,”  tegur Mike padaku yang sedang memperhatikan anak-anak kecil yang sedang bermain bola tak jauh dari tempat kami.
            “Suratnya belum sampai juga?” Aku memandangnya, dari mana ia tahu kalau kemurunganku gara-gara surat Dave yang tak lagi hadir. Aku memang pernah bercerita pada Mike tentang Dave. Tentang perasaan cowok itu padaku, dan Mike banyak memberiku  saran dan nasehat.
            Mike adalah sahabat pertamaku sejak aku dan keluargaku pindah ke Chicago delapan tahun yang lalu. Aku yang pendiam dan agak tertutup membuatku sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baruku. Untunglah ada Mike, anak tetangga baruku yang  ceria yang bisa membuatku berubah. Perlahan ia membantuku menyesuaikan diri dengan lingkungan dan teman-teman. Orangtuaku pun sangat menyukainya. Namun empat tahun belakangan ini  karena kuliahnya, ia harus  pindah ke New York  dan baru kembali  saat liburan musim dingin atau ketika Natal tiba. Saat ini ia ada di sini karena pesta pernikahan kakaknya yang akan dilangsungkan dua hari yang akan datang.
            “Apa kamu rindu padanya?” Mike menodongku dengan pertanyaan yang tak dapat kujawab.
            “Come on May, be honest to me,”  ucapnya padaku. “ Atau kamu nggak percaya padaku lagi?”
            “Aku…”
            “Aku nggak tahu kenapa sekarang kamu nggak seperti dulu lagi, “ ucapnya sambil menunduk. “Apa karena Dave, May mengapa kamu bisa percaya dan bisa berbagi dengan orang yang nggak kamu kenal sedang padaku tidak, why May?”
            “Entahlah Mike, semuanya berubah sejak kamu memutuskan kuliah di New York. Aku merasa kesepian. Hanya Dave yang dapat menghiburku dan mengeluarkan aku dari kesepian ini,” ungkapku jujur.
            “Jika aku mempertemukan kamu dengan Dave, apakah kamu akan melupakan aku?”  Aku memandang  Mike tak mengerti, bagaimana ia mengenal Dave. Memang cowok itu juga tinggal di New York , mungkinkah mereka teman sekelas?
            “Beberapa bulan lagi aku akan lulus, kuharap kamu akan datang ke New York untuk melihat wisudaku. Sekalian aku akan mempertemukan kamu dengannya.”
            “Tapi Mike, bagaimana kamu bisa mengenalnya?” tanyaku dengan perasaan campur aduk.
            “Teman sekampus,” sahutnya tersenyum. Dasar Mike ia selalu mengejutkan aku dengan sikap-sikapnya.
            Aku mengikuti langkah tante dan Om Wilson  memasuki kampus   tempat belajar Mike selama empat tahun ini . Banyak orang tua murid yang sudah berkumpul , dan mahasiswa-mahasiswi yang memakai toga berjalan hilir mudik dengan senyum bangga. Mungkin aku juga akan seperti mereka dua tahun lagi. Mataku mencari sosok Mike yang berjanji akan mempertemukan aku dengan Dave. Entah bagaimana Dave yang sebenarnya. Aku memang memiliki foto dirinya, tetapi dalam pose yang diambil dari jarak jauh. Jadi tak begitu jelas.
            “Mayako,” panggil Mike dengan mata berbinar . “Hai Mom, Dad.” Dave menyapa orang tuanya kemudian menarikku menjauh.
            “Aku senang kamu datang,” ucapnya padaku. “ Kamu harus terus berada di sampingku,” ucapnya sambil membawa tanganku ke dadanya.
            “Tapi Mike…” Ada keraguan di hatiku. Bagaimana kalau Dave melihat aku dengannya.
            “Dia tidak akan datang, aku yang akan membawamu padanya,” ucap Mike seperti tahu pikiranku.
            Aku memeluk Mike erat saat ia melemparkan topi wisudanya ke atas dan berlari ke arahku. “Selamat Mike, akhirnya kamu lulus.”
            “Thanks.”
            “Kita pergi sekarang?” tanyanya setelah ia memanggil taxi untuk orang tuanya dan mengantarkan mereka ke hotel dan meminta izin pada mereka untuk membawaku ke apartemennya sekalian membantunya berbenah.
            Aku membaca plat nama yang terpasang di sudut jalan. Sepertinya aku mengenal nama jalan itu. Ya aku selalu menulis nama itu setiap mengirimkan Dave surat. Sudah dekatkah aku dengannya?
            Mike memandangku dengan senyum lembutnya. “Kamu akan segera tahu siapa dan bagaimana dia yang sebenarnya,” ucap Mike.
            Aku sedikit kesal karena Mike menyuruhku sabar menunggu kehadiran Dave. Ia malah memintaku untuk membantunya membereskan pakaian dan barang-barangnya yang akan ia bawa kembali ke Chicago.
            Namun tak kala mataku menangkap setumpuk kertas dan amplop-amplop di laci
meja belajarnya aku memandang Mike. Bagaimana surat-suratku untuk Dave ada di tangannya, bercampur dengan surat-suratku untuk Mike.
            “Mike , ini…” Aku memandangnya meminta penjelasan. Di kamar ini hanya dia seorang penghuninya. Lalu Dave, di manakah dia?
            Mike mendekatiku dan jongkok di hadapanku yang terduduk di sisi ranjangnya dengan surat-surat Dave di tanganku.
            “Maafkan aku May, “ ucapnya semakin membuatku tak mengerti. “Aku telah membohongimu. Akulah Dave, juga Mike.”
            “Tapi…”
            “Sejak pertama bertemu kamu aku sudah menyukaimu. Tapi kamu selalu saja menganggapku sahabat atau paling juga seorang kakak yang melindungimu. Kamu yang selalu berkata tak dapat melupakan cinta pertamamu. Aku tak tahu cara lain sampai akhirnya aku mendapat nama dan alamatmu ketika aku ikut di perkumpulan  korespondence. “
            “Maaf, jika kamu menganggap kalau aku mempermainkan perasaanmu.”
            “Pantas, pantas saja kamu nggak pernah mau memberitahuku alamat apartemenmu,” ucapku menahan tangis. Berbagai perasaan campur aduk di dadaku.
            “Aku, aku harus pergi sekarang,” ucapku sambil berdiri dan berjalan meninggalkannya.
            “Jangan May, kumohon,” Mike memelukku dari belakang. “Jangan tinggalkan aku, jika kamu ingin aku menjadi Dave aku akan mengikuti kehendakmu,” ucapnya pelan             “Aku, aku tidak tahu Mike, “ aku sendiri tidak mengerti apakah Dave atau Mike yang kuinginkan karena keduanya adalah satu sosok yang sama.
            “May, izinkan aku untuk mencintaimu, sebagai Mike juga Dave,” ucapnya sungguh-sungguh.
            Aku tidak tahu apakah aku bisa menerimanya. Terlalu mengejutkan meskipun selama ini sikap Mike memang manis padaku. Mengapa ia tak pernah terus terang padaku, mengapa harus dengan cara ini menggapai hatiku.
            “Biar waktu yang menjawabnya Mike,” ucapku.” Kurasa kita harus kembali ke hotel sekarang, papa dan mamamu pasti sedang menunggu kita,” ucapku akhirnya.
             “Baiklah,” ucapnya sambil melepaskan pelukannya dan kemudian mengeluarkan koper-kopernya.
            Entah apa yang dipikirkan Mike sekarang, aku memandangnya sekilas saat kami hanya duduk diam di dalam taxi yang mengantar kami ke hotel. Perasaan menyesal dan kecewa terlukis jelas di wajahnya.  Aku tahu Mike tak bermaksud mempermainkan hatiku, ia hanya salah mengambil langkah untuk menggapai hatiku. Ia seakan tak percaya saat jemariku menyentuh tangannya lembut.
            “May,” ucapnya dengan mata merah dan menatapku.
            “Aku memaafkan kamu Mike,” bisikku pelan. Jujur saja aku tak sanggup kehilangan keceriaan di wajah cowok itu. Ia adalah orang pertama yang memberiku keceriaan dan mengajarkan aku percaya diri . Ada desiran halus yang kurasakan saat ia membawaku dalam pelukannya dan aku merasa damai di dekatnya. Kurasa aku akan menerimanya, tak peduli sebagai Mike atau sebagai Dave.