Selasa, 19 April 2011

RAHASIA HATI


BY       : Helmy Fenisia
Angin musim semi menyentuh wajahku lembut,  semerbak wangi bunga-bunga   yang bermekaran  membantuku menekan kekecewaan yang diam-diam kusimpan. Bulan ini adalah bulan keenam  tanpa kehadiran surat Dave. Tak seperti biasanya surat Dave absen selama ini. Sesibuk apa pun ia , pasti akan menyempatkan diri untuk membalas suratku. Tapi kini, telepon untuk sekedar say hello pun tidak.
Aku  membaca kembali kartu pos terakhir yang ia kirim bersama foto dirinya enam bulan yang lalu , Aku akan terus mencintaimu, tulisnya ,sampai kamu bisa belajar menerimaku bukan lagi sebagai seorang sahabat tetapi seseorang yang mempunyai arti lebih dalam hidupmu. Dari yang mencintaimu, Dave.
            Benarkah ia mencintaiku? Lalu mengapa ia tak menelponku, tidak membalas suratku? Tuhan, mengapa aku jadi memikirkannya? Sejak dua surat yang kukirim untuknya empat bulan lalu tak ia balas, entah mengapa perasaan lain datang mengusik hatiku. Perasaan kehilangan, takut untuk ditinggalkan telah membuatku gelisah.
Aku mengenal Dave empat tahun yang lalu melalui suatu perkumpulan korespondence internasionl. Semula aku tak mengira persahabatan yang telah berjalan cukup lama ini akan berubah seperti  ini. Aku selalu menganggap Dave sahabat sekaligus kakak lelaki yang selama ini tak pernah kupunya.
            Segala sesuatu selalu kuceritakan padanya, tak ada satupun yang kurahasiakan, karena aku percaya padanya. Ia juga dapat membantuku saat aku butuh pendapat maupun nasehatnya. Ia selalu mampu menghiburku, menyenangkan aku dengan cerita-ceritanya.            Namun entah mengapa, tiba-tiba saja ia mengungkapkan sesuatu yang sudah lama ia simpan padaku, perasaan cintanya. Ia mengaku kalau ia mencintaiku. Entah apa yang harus kujawab saat itu, aku hanya mampu untuk diam.
Kupikir, Dave mungkin hanya bercanda dan bermaksud mempermainkanku. Kami tak pernah bertemu sebelumnya, jadi tak mungkin rasa itu hadir begitu saja tanpa adanya pertemuan. Aku juga berterus terang padanya tentang perasaanku yang tak pernah berubah terhadap orang yang pernah kucintai. Dulu bahkan sampai kini meski kutahu masa lalu tak akan bisa kuraih lagi.
Aku selalu menghindar saat ia mulai membicarakan perasaannya padaku saat ia menelpon, mengacuhkan kata-kata cintanya saat ia mengirimkan aku surat dan kartu –kartu manis. Tapi entah mengapa kini aku malah gelisah dengan ketidakhadiran surat-suratnya. Aku juga rindu dengan suaranya, candanya dan semua cerita lucunya.
“Aduh,” setangkai bunga tulip tiba-tiba saja dilemparkan seseorang ke arahku. Aku melihat ke bawah , di luar Mike nyengir dengan senyum kudanya. Cowok sialan itu selalu saja mengganggu keasyikanku. Tapi senyum dan tingkahnya kadang juga mampu membawaku keluar dari kesedihan. Ia seperti Dave  bagiku.
            “Mayako,  ayo turun, jangan melamun terus. Ayo nikmati musim semi ini, lihat orang-orang pada berkumpul di taman.” Mike melambaikan tangannya sambil menyuruhku turun.
            Musim semi memang musim yang paling disenangi orang-orang di sini, wangi aneka bunga yang bermekaran, aroma pohon-pohon yang khas dan kicau burung seakan membawa kedamaian. Dari balkon kamarku aku dapat melihat taman kota yang mulai ramai dengan anak-anak yang bersepeda, orang tua yang bersantai juga anjing-anjing yang turut bermain menemani majikannya. Suatu pemandangan yang indah apalagi di hari Minggu yang cerah begini. Aku jadi teringat masa lalu saat aku masih tinggal di Tokyo, saat seperti ini bunga-bunga sakura mulai bermekaran di sepanjang jalan. Bahkan di halaman sekolah pun aku dan teman-teman suka sering duduk di bawah pohon sakura. Seperti tengah berlindung di bawah payung berwarna merah jambu.
            “Nih, lain kali jangan sembarangan mencabut bunga ,” ucapku sambil mengembalikan bunga tulip yang tadi dilemparkan padaku. “Aku nggak tanggung jika nanti kamu dimarah oleh penjaga taman.”
            “Siapa bilang aku mencabutnya dari sana?” Mike memandangku sambil tersenyum.
            “Lihat tuh, aku mencabutnya dari halaman rumahmu. Lumayan juga, ternyata kamu bakat jadi tukang kebun,” ucapnya sambil memandangku nakal.
            “Mike,” aku menjerit karena jengkel dan satu jitakan mampir di kepalanya. Ternyata anak sialan ini mencabut bunga tulipku yang baru mekar  pagi tadi..
            “Jahat, itu bunga pertama yang mekar sejak kutanam.” Aku hampir menangis. Sore kemarin  bunga itu hanya kupandangi karena nggak tega untuk memetiknya, tapi dia malah seenaknya saja.
            “Mayako, Mayako aku minta maaf, “ ucapnya dengan tatapan menyesal,” Aku akan menebusnya dengan mentraktirmu, bagaimana?”
            “Harus yang paling enak dan paling mahal,” sahutku langsung. Biar tahu rasa dia.           
            “Ng…, baiklah,” ucap Mike akhirnya.
            “Aku ingin makan pizza dan… ,” .
            “Baiklah, kita ke tempat Adam, ” potongnya sebelum sempat kusebut nama makanan yang  kurasa paling mahal bagi kantongnya.
            “Sekarang?” tanyaku  dengan mata melotot. Aku baru saja sarapan satu jam yang lalu, bagaimana aku bisa menikmati pizza kesukaanku dengan perut yang masih penuh. Dasar Mike, iklas nggak sih mau traktir aku.
            “Jangan melotot begitu, jelek tahu! Aku tahu, kamu baru sarapan kan, nanti malam saja. Kita ke taman sekarang.” Mike menggandeng tanganku sambil menyeberang.
            “Sejak aku pulang, aku selalu melihat wajahmu murung,”  tegur Mike padaku yang sedang memperhatikan anak-anak kecil yang sedang bermain bola tak jauh dari tempat kami.
            “Suratnya belum sampai juga?” Aku memandangnya, dari mana ia tahu kalau kemurunganku gara-gara surat Dave yang tak lagi hadir. Aku memang pernah bercerita pada Mike tentang Dave. Tentang perasaan cowok itu padaku, dan Mike banyak memberiku  saran dan nasehat.
            Mike adalah sahabat pertamaku sejak aku dan keluargaku pindah ke Chicago delapan tahun yang lalu. Aku yang pendiam dan agak tertutup membuatku sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baruku. Untunglah ada Mike, anak tetangga baruku yang  ceria yang bisa membuatku berubah. Perlahan ia membantuku menyesuaikan diri dengan lingkungan dan teman-teman. Orangtuaku pun sangat menyukainya. Namun empat tahun belakangan ini  karena kuliahnya, ia harus  pindah ke New York  dan baru kembali  saat liburan musim dingin atau ketika Natal tiba. Saat ini ia ada di sini karena pesta pernikahan kakaknya yang akan dilangsungkan dua hari yang akan datang.
            “Apa kamu rindu padanya?” Mike menodongku dengan pertanyaan yang tak dapat kujawab.
            “Come on May, be honest to me,”  ucapnya padaku. “ Atau kamu nggak percaya padaku lagi?”
            “Aku…”
            “Aku nggak tahu kenapa sekarang kamu nggak seperti dulu lagi, “ ucapnya sambil menunduk. “Apa karena Dave, May mengapa kamu bisa percaya dan bisa berbagi dengan orang yang nggak kamu kenal sedang padaku tidak, why May?”
            “Entahlah Mike, semuanya berubah sejak kamu memutuskan kuliah di New York. Aku merasa kesepian. Hanya Dave yang dapat menghiburku dan mengeluarkan aku dari kesepian ini,” ungkapku jujur.
            “Jika aku mempertemukan kamu dengan Dave, apakah kamu akan melupakan aku?”  Aku memandang  Mike tak mengerti, bagaimana ia mengenal Dave. Memang cowok itu juga tinggal di New York , mungkinkah mereka teman sekelas?
            “Beberapa bulan lagi aku akan lulus, kuharap kamu akan datang ke New York untuk melihat wisudaku. Sekalian aku akan mempertemukan kamu dengannya.”
            “Tapi Mike, bagaimana kamu bisa mengenalnya?” tanyaku dengan perasaan campur aduk.
            “Teman sekampus,” sahutnya tersenyum. Dasar Mike ia selalu mengejutkan aku dengan sikap-sikapnya.
            Aku mengikuti langkah tante dan Om Wilson  memasuki kampus   tempat belajar Mike selama empat tahun ini . Banyak orang tua murid yang sudah berkumpul , dan mahasiswa-mahasiswi yang memakai toga berjalan hilir mudik dengan senyum bangga. Mungkin aku juga akan seperti mereka dua tahun lagi. Mataku mencari sosok Mike yang berjanji akan mempertemukan aku dengan Dave. Entah bagaimana Dave yang sebenarnya. Aku memang memiliki foto dirinya, tetapi dalam pose yang diambil dari jarak jauh. Jadi tak begitu jelas.
            “Mayako,” panggil Mike dengan mata berbinar . “Hai Mom, Dad.” Dave menyapa orang tuanya kemudian menarikku menjauh.
            “Aku senang kamu datang,” ucapnya padaku. “ Kamu harus terus berada di sampingku,” ucapnya sambil membawa tanganku ke dadanya.
            “Tapi Mike…” Ada keraguan di hatiku. Bagaimana kalau Dave melihat aku dengannya.
            “Dia tidak akan datang, aku yang akan membawamu padanya,” ucap Mike seperti tahu pikiranku.
            Aku memeluk Mike erat saat ia melemparkan topi wisudanya ke atas dan berlari ke arahku. “Selamat Mike, akhirnya kamu lulus.”
            “Thanks.”
            “Kita pergi sekarang?” tanyanya setelah ia memanggil taxi untuk orang tuanya dan mengantarkan mereka ke hotel dan meminta izin pada mereka untuk membawaku ke apartemennya sekalian membantunya berbenah.
            Aku membaca plat nama yang terpasang di sudut jalan. Sepertinya aku mengenal nama jalan itu. Ya aku selalu menulis nama itu setiap mengirimkan Dave surat. Sudah dekatkah aku dengannya?
            Mike memandangku dengan senyum lembutnya. “Kamu akan segera tahu siapa dan bagaimana dia yang sebenarnya,” ucap Mike.
            Aku sedikit kesal karena Mike menyuruhku sabar menunggu kehadiran Dave. Ia malah memintaku untuk membantunya membereskan pakaian dan barang-barangnya yang akan ia bawa kembali ke Chicago.
            Namun tak kala mataku menangkap setumpuk kertas dan amplop-amplop di laci
meja belajarnya aku memandang Mike. Bagaimana surat-suratku untuk Dave ada di tangannya, bercampur dengan surat-suratku untuk Mike.
            “Mike , ini…” Aku memandangnya meminta penjelasan. Di kamar ini hanya dia seorang penghuninya. Lalu Dave, di manakah dia?
            Mike mendekatiku dan jongkok di hadapanku yang terduduk di sisi ranjangnya dengan surat-surat Dave di tanganku.
            “Maafkan aku May, “ ucapnya semakin membuatku tak mengerti. “Aku telah membohongimu. Akulah Dave, juga Mike.”
            “Tapi…”
            “Sejak pertama bertemu kamu aku sudah menyukaimu. Tapi kamu selalu saja menganggapku sahabat atau paling juga seorang kakak yang melindungimu. Kamu yang selalu berkata tak dapat melupakan cinta pertamamu. Aku tak tahu cara lain sampai akhirnya aku mendapat nama dan alamatmu ketika aku ikut di perkumpulan  korespondence. “
            “Maaf, jika kamu menganggap kalau aku mempermainkan perasaanmu.”
            “Pantas, pantas saja kamu nggak pernah mau memberitahuku alamat apartemenmu,” ucapku menahan tangis. Berbagai perasaan campur aduk di dadaku.
            “Aku, aku harus pergi sekarang,” ucapku sambil berdiri dan berjalan meninggalkannya.
            “Jangan May, kumohon,” Mike memelukku dari belakang. “Jangan tinggalkan aku, jika kamu ingin aku menjadi Dave aku akan mengikuti kehendakmu,” ucapnya pelan             “Aku, aku tidak tahu Mike, “ aku sendiri tidak mengerti apakah Dave atau Mike yang kuinginkan karena keduanya adalah satu sosok yang sama.
            “May, izinkan aku untuk mencintaimu, sebagai Mike juga Dave,” ucapnya sungguh-sungguh.
            Aku tidak tahu apakah aku bisa menerimanya. Terlalu mengejutkan meskipun selama ini sikap Mike memang manis padaku. Mengapa ia tak pernah terus terang padaku, mengapa harus dengan cara ini menggapai hatiku.
            “Biar waktu yang menjawabnya Mike,” ucapku.” Kurasa kita harus kembali ke hotel sekarang, papa dan mamamu pasti sedang menunggu kita,” ucapku akhirnya.
             “Baiklah,” ucapnya sambil melepaskan pelukannya dan kemudian mengeluarkan koper-kopernya.
            Entah apa yang dipikirkan Mike sekarang, aku memandangnya sekilas saat kami hanya duduk diam di dalam taxi yang mengantar kami ke hotel. Perasaan menyesal dan kecewa terlukis jelas di wajahnya.  Aku tahu Mike tak bermaksud mempermainkan hatiku, ia hanya salah mengambil langkah untuk menggapai hatiku. Ia seakan tak percaya saat jemariku menyentuh tangannya lembut.
            “May,” ucapnya dengan mata merah dan menatapku.
            “Aku memaafkan kamu Mike,” bisikku pelan. Jujur saja aku tak sanggup kehilangan keceriaan di wajah cowok itu. Ia adalah orang pertama yang memberiku keceriaan dan mengajarkan aku percaya diri . Ada desiran halus yang kurasakan saat ia membawaku dalam pelukannya dan aku merasa damai di dekatnya. Kurasa aku akan menerimanya, tak peduli sebagai Mike atau sebagai Dave.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar