Rabu, 20 April 2011

VILLA TERPENCIL



HELMY FENISIA

            Gempita musik keras yang diputar di  mobil yang dibawa Boy perlahan dimatikan. Sementara mata teman-temannya menatap kagum pada villa yang berdiri megah di depan mereka.
            “Waww, keren oi,” seru Rani sambil meloncat turun.
            “Iya tuh, hebat lu Boy bisa dapetin tempat oke kayak gini, mana biaya sewanya murah lagi.”  Sony menepuk bahu sahabatnya. Boy tersenyum bangga, memang dia sudah mensurvei beberapa villa yang akan mereka sewa dan hanya ini yang pas untuk kantong mereka. Apalagi ini adalah villa yang paling megah dan bagus dari beberapa villa yang dilihatnya.       
            “Tapi kok kayaknya beda banget ya sama villa-villa yang pernah gue datangi. Kayaknya villa ini terpencil banget, mana di sekelilingnya cuma ada bukit-bukit,” ucap Shera. Perasaannya sedikit tidak enak saat memandang sekeliling villa.
            “Ah elo, gini kan lebih bagus, kita mau ngapain nggak ada yang complain atau marah-marah. Kita di sini kan mau pesta semalaman, betul kan teman-teman?”
            “Yap, gue setuju sama ucapan Boy,” bilang Sony. “Sudahlah nggak usah dipikirin. Lebih baik kita masuk sekarang, udara makin dingin di luar sini.”
            Boy bersiul kecil sambil membuka pintu villa. Mata mereka terbelalak melihat bagian dalam villa itu. Bagunannya merupakan perpaduan  gaya modern dan klasik.
Pintu utama terbuat dari kayu jati asli, begitu pula dengan pegangan pada tangga. Pun beberapa perabot seperti kursi  besar di ruang tamu,  dan mejanya yang berbentuk antik. Tapi di sudut lain dari ruang tamu di beri sentuhan modern dengan sebuah sofa berwarna gading  dan meja dengan kaki yang terbuat dari besi berwarna emas. Dan sebuah lampu berdiri yang lumayan tinggi dengan sinarnya yang agak redup. Benar-benar hebat, Sandra yang sejak tadi memperhatikan ruangan berdecak kagum.
Ruang santai yang dibatasi dengan beberapa anak tangga juga tak kalah menariknya.  Seperangkat audio mewah seakan menyambut mereka. Sofa berwarna pastel yang seirama dengan warna dindingnya  seolah mengoda mereka untuk merasakan keempukan kursi yang pasti berharga mahal itu. Buffet tempat televisi dan  perangkat audio lagi-lagi merupakan kayu jati yang dirancang khusus. Rani dan Shera berlomba menduduki sofa empuk itu sambil berteriak kegirangan seolah mendapat permen yang sudah lama tak mereka dapatkan.
            “Wah, kalo begini sebulan nggak pulang juga nggak papa deh.” Teriak Shera senang.
            “Ah elu, tadi takut!” ejek Rani. Yang lain ikut tertawa.
            Di belakang sofa ada sebuah lukisan yang menarik perhatian Sandra. Lukisan itu lumayan besar tergantung di atas sebuah meja dengan kaki  besi berwarna emas. Sandra memperhatikan lukisan di depannya. Lukisan itu menggambarkan beberapa anak muda yang sedang mengadakan pesta minum-minuman  keras seperti halnya rencana mereka . Tapi Sandra bergidik saat matanya menangkap sesosok wanita yang berdiri di ujung meja bartender yang agak gelap. Hampir tak terlihat karena berada di kegelapan. Wanita itu memakai gaun merah tengah memandangnya dengan pandangan dingin yang membuat bulu romanya berdiri. Apalagi saat dilihatnya tangan gadis itu yang memegang gelas anggur dengan darah yang  mengalir di lengannya.
“Harusnya ada lampu hologram yang meneranginya,” suara Bimo mengejutkannya. “Hei, kurasa suasana di lukisan ini akan mirip dengan kita nanti.” Sambung Bimo lagi dengan semangat. “Kebetulan sekali.”
“Kurasa pemilik villa ini juga sering mengadakan pesta di sini.” Rani mengambil kesimpulan.
            “Lho, lu kenapa sih San, kayak orang takut begitu?” tanya Bimo sambil memandang wajah gadis itu.
“Ah nggak, hanya terkejut tiba-tiba lu ada di belakang gue…” Sandra semakin terkejut dan takut takala matanya tidak lagi menangkap sosok gadis berbaju merah di dalam lukisan itu.
“San,  sebenarnya elu kenapa ?” Bimo kembali bertanya padanya saat dilihatnya Sandra terpaku dengan  wajah pucat.
            “Mungkin kecapekan kali,” tebak Rani.
            Bimo membawa Sandra duduk di sofa, lalu memberinya segelas air.
            “Bim, kurasa tempat ini gak bagus buat kita,” ucap Sandra setelah agak sedikit tenang. Perasaan takut dan tak enak mulai  mengganggunya.
            “Gile, tempat segini bagus lu bilang gak bagus. Gimana sih?” sahut  Boy.
            “Iya nih, kenapa sih kamu San, kesambet ya?” goda Shera.
            Melihat teman-temannya mengejek akhirnya Sandra hanya pasrah. Sekali lagi dipandanginya lukisan di dinding itu.  Masih seperti yang terakhir kali dilihatnya. Apakah hanya perasaanku saja, atau mungkin mataku yang salah lihat, tanya Sandra dalam hati. Akhirnya ia melupakan kejadian tadi setelah Boy memasang perangkat audio yang ada di ruang   santai itu. House music yang hingar-bingar menjadi teman mereka malam itu.
            “Cuit-cuit, ini baru pesta,” Boy bersiul saat Sony mengeluarkan dua botol wisky dari tas ranselnya.
            “Tau nggak, mami gue kira di ransel ini diktat kuliah semua,” cerita Sony sambil tertawa.
            “Wah, kejam banget lu Son. Mami sendiri lu tipu.” Teman-temannya tertawa.
            “Ok guys, lets start the party…” Boy yang sudah tak sabar segera menuangkan wisky untuk teman-temannya. Bimo yang semula duduk sambil menikmati minumannya kini berdiri sambil menari. Erotis sekali gayanya hingga teman-temannya yang melihat tertawa. Shera juga tak mau kalah, dia juga mengikuti gaya Bimo.
            “Wow, ini baru ok..” teriak Boy sambil menambah minuman pada gelasnya. Dipeluknya Rani yang duduk di sampingnya. Gadis itu sudah setengah mabuk, Boy yang melihat gadisnya yang setengah teller langsung memasukkan sebutir obat di gelas Rani. Boy meminumkannya pada Rani. Gadis itu tertawa-tawa sambil entah nyerocos apa. Dan tak lama kemudian di rasakannya sekujur tubuhnya terasa panas. Dilepaskannya baju atas yang dipakainya. Tubuhnya yang putih langsung dicium oleh Boy dengan semangat. Sedang Rani hanya bisa menggeliat.
            Sony yang sibuk dengan shabu-shabunya  menawarkan obat itu pada Sandra. Gadis itu langsung menerimanya, sudah lama juga ia tak menyentuh obat itu. Tak ada salahnya ia mencicipinya sekarang,   lagipula ia ingin melupakan kejadian tadi. Bukankah saatnya untuk bersenang-senang?
            Bimo dan Shera masih asyik dengan goyangnya, kali ini lebih erotis karena Shera sudah ada dalam pelukan Bimo.  Sedang Boy dan Rani sudah ada di kamar dingin yang ber-AC.
            Setengah mabuk oleh pengaruh obat dan minuman Sony berjalan ke kamar mandi. Tapi  setelah sekian lama ia masih tak kembali. Sandra yang heran akhirnya mencari Sony di kamar mandi di dekat dapur. Tidak ada, entah di mana cowok itu.  Sandra mencarinya di kamar tidur utama, ternyata di sana hanya ada Boy yang tengah bermesraan dengan Rani.   Sandra mencari ke ruang lain. Akhirnya dengan tubuh yang  terasa melayang karena pengaruh obat Sandra sampai juga di lantai atas.
            “AHHHHHHHHHH!”suara Sandra terdengar hingga ke bawah. Gadis itu berlari turun dengan wajah ketakutan.
            “Sony…Sony…dia…” Sandra tak dapat meneruskan ucapannya. Seluruh tubuhnya gemetar.
            “Ada apa San, mana Sony?” tanya Bimo.
            “San?” Shera memegang bahu sahabatnya. Gadis itu sepertinya terguncang. Sandra hanya bisa menangis .
            “Ada apa ini?” Boy keluar dengan tubuh telanjang dada.
            “Mana Sony?”
            “Entahlah, tadi Sandra berteriak , kurasa terjadi sesuatu dengan Sony.” Ucap Bimo.
            “Sandra, katakan apa yang terjadi dengan Sony.” Boy mengguncang bahu Sandra.
            “Sony…Sony meninggal.” Sandra berkata sambil menangis.
            “Ada pembunuh di sini, kita harus pulang.” Sandra kembali berucap sambil menatap teman-temannya. Ketiganya saling memandang.
            “Katakan di mana Sony sekarang?” Boy bertanya.
            “Di lantai dua, kamar paling ujung.”
            Serentak Boy dan Bimo naik, sedang Shera menemani Sandra.
            Kondisi Sony mengenaskan. Ia terkapar di  lantai kamar mandi dengan  kedua lengannya seperti tersayat benda tajam, begitu pula dengan lehernya yang hampir putus. Di mulutnya keluar busa. Sedang hidungnya mengeluarkan darah. Boy memandang Bimo.
            “Pasti ada seseorang yang membunuhnya.” Boy berkesimpulan.
            “Siapa yang terakhir bersamanya?” tanya Boy.
            “Sandra, siapa lagi. Aku ada di ruang santai bersama Shera sejak tadi.” Jawab Bimo. ”Tapi, apa mungkin dia?” ucapnya ragu.
            “Entahlah, tapi tidak ada yang lain selain kita berenam. Rani ada bersamaku di kamar waktu kejadian.”
            Keduanya turun dan kembali ke tempat semula. Bimo memandang Boy menunggu temannya itu berbicara.
            “Seseorang telah membunuhnya,” ucap Boy.
            “Tapi..tapi siapa ? bukankah kalian bilang tidak ada orang lain selain kita di sini?” Shera berucap dengan nada cemas.
            “Benar, aku bisa jamin hanya kita yang ada di sini  “ Boy menatap Sandra tajam.
            “Jangan bilang Sandra yang melakukannya.” Ucap Shera sambil berdiri menjauh dari Sandra.
            “Bukan aku…aku sumpah bukan aku.” Kata Sandra dengan wajah yang masih basah oleh air mata.
            “Tapi kau yang terakhir bersamanya, San,” ucap Bimo.
            “Tapi bukan aku Bim!” Sandra berteriak.
            “Kalau bukan kau  lalu siapa, tidak ada orang lain kan? Kalian lihat sendiri kalau villa ini jauh dari villa-villa lain. Dan penjaga villa ini sudah menghilang di balik bukit sejak kita datang tadi.” Suara Boy meninggi.
            “Sudahlah, lebih baik kita tunggu sampai pagi. Kurasa ada baiknya kalau kita mengecek sebentar villa ini Boy,” ucap Bimo.
            “Baiklah.”
            Agak ragu juga Shera tetap berada di dekat sahabatnya itu mengingat apa yang di katakan Boy tadi. Sandra yang membunuh Sony, bukanlah dia tidak ada alibi sama sekali karena memang hanya    Sandra yang terakhir bersama Sony.
            Bimo memeriksa halaman belakang villa dan lantai satu. Sedang  Bimo memeriksa halaman depan dan lantai atas.
            “Tak ada yang mencurigakan.” Bilang Boy.
            “Sudahlah, lebih baik kita istirahat saja dulu. “ Bimo menenangkan suasana.
            “Aku…aku denganmu saja Bim,” Shera mengikut langkah Bimo. Lelaki itu memandang Sandra kasihan.
            “Kita tidur bertiga saja. Tadi kulihat di kamar tengah ada tempat tidur dan juga sofa. Kalian bisa tidur di tempat tidur dan aku di sofa.”
            “Tapi Bim..” Ragu Shera memandangnya. Bimo tahu maksudnya.
            “Tak mungkin ia mempunyai keberanian dan kekuatan untuk membunuh kita berdua.” Ucapnya.
            “Rani…Rani menghilang.” Boy kembali ke ruang santai dengan panik. Bimo dan Shera saling pandang. Gadis itu semakin ketakutan.
            “Pasti ada yang tak beres di villa ini.” Bimo mulai merasakannya. “Ayo kita cari. Jangan ada yang berpencar.”
            Semua mencari, bahkan sampai jauh ke halaman belakang villa yang tak jauh dari bukit. Masih tetap tak ada meski berkali-kali mereka memanggil Rani tapi masih juga tidak ada sahutan.
            “Kurasa dia hanya keluar sebentar untuk ke kamar kecil. Kita kembali saja sekarang.” Ucap Bimo akhirnya.
            “Tapi aku sudah mencarinya di kamar mandi!” Kata Boy.
            “Mungkin tadi dia mencarimu di ruangan lain.” Bimo berusaha berpikir positif. Tak enak menambah rasa takut teman-temannya. Meski dalam hati dia pun mencemaskan Rani.
            “Rani…itu Rani.” Segera Boy berlari saat dilihatnya Rani yang duduk di teras dengan sikap tertidur. Tanpa memakai baju atasan.
            “Rani…” Boy berteriak histeris saat dilihatnya lengan gadis itu telah tersayat benda tajam. Begitu pula dengan tubuh bagian atasnya.
            “Sepertinya memang ada orang lain di sini.” Bimo berkata sambil matanya menatap pada kejauhan malam. Suara binatang malam terdengar di kejauhan.  Sementara Boy masih meratapi kekasihnya.
            “Bim, kurasa lebih baik kita masuk sekarang.” Shera berkata sambil menggigil . Udara dingin di luar dan kegelapan yang berada di depan mereka membuatnya kedinginan dan takut.
            “Kita berkumpul saja di ruangan tadi.” Ucap Bimo.
            “Boy..sudahlah Boy sekarang bukan saatnya untuk meratap. Pikirkan apa yang harus kita lakukan.” Bimo menarik tangan sahabatnya untuk masuk.
            “Kurasa lebih baik kita pergi dari sini.” Sandra berkata sambil memandang Bimo.
            “Tidak, aku tak mau membiarkan Rani sendirian.” Boy berkeras.
            “Tapi Boy, ada pembunuh di sekitar sini.” Ucap Shera yang setuju usul Sandra.
            “Tidak, aku tak akan pergi . Tak mungkin aku meninggalkan Rani sendiri. Pokoknya tidak.”
            “Baiklah. Baiklah, kita tetap di sini. Harus ada yang berjaga-jaga jangan sampai tertidur. Kurasa ada yang tidak suka dengan kehadiran kita di sini, jadi kita perlu hati-hati.” Bimo mengingatkan.
            Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua malam. Semua sudah mengantuk namun tak ada satupun yang berani memejamkan matanya. Sandra yang kebelet pipis pun tak berani beranjak dari tempatnya.
            “Aku..aku ingin ke belakang.” Akhirnya ia sudah tak bisa menahannya.
            “Aku akan menemanimu.”
            “Aku juga ikut.” Shera menguntit dari belakang.
            “Aku di sini saja berjaga-jaga.” Ucap Boy saat Bimo memandangnya.
            Beberapa menit berlalu karena ketiga orang itu bergilir untuk masuk ke kamar mandi. Boy masih terbayang pada Rani yang ada di teras, diraihnya jaket yang ada di kursi dan di bawanya ke teras. Hatinya tersayat melihat keadaan Rani. Ia menutup tubuh gadis itu dengan jaketnya. Sambil mencium tangan gadis itu ia menangis,  kekasihnya meninggal apa yang harus dikatakan pada orang tua Rani nanti. Sungguh ia merasa bersalah.
            Dada Bimo berdetak cepat saat tak di dapatinya Boy di ruang santai. Cowok itu berteriak panik. Dia mencari ke ruang tamu tapi tidak nampak . Akhirnya ia bernafas lega saat mendapati Boy di teras.
“Astaga, kau menakuti kami Boy. Bukankah sudah kubilang untuk tetap bersama. Mungkin saja si pembunuh itu masih ada di sini.” Ucap Bimo .
            “Maaf. Aku hanya tidak tega membiarkan Rani kedinginan sendirian  di sini.” Lalu keempatnya masuk kembali.
            Waktu seakan begitu lamban berjalan. Boy yang mendapat giliran jaga melirik jam tangannya. Baru jam dua lewat, ia menggeliat sejenak meregangkan otot-ototnya. Ia ingin ke kamar mandi, tapi segan rasanya membangunkan Bimo atau yang lain untuk menemaninya. Lagipula sejak beberapa waktu yang lalu keadaan sepertinya mulai aman.
            “AHHHHHHHHHHHHHH!” suara teriak membangunkan ketiga temannya.
            “Boy!” Bimo segera berlari ke arah suara. Diikuti  Sandra dan Shera.
            Di  depan kamar mandi, tubuh Boy terkapar dengan luka sayatan di tangan. Di perut bagian bawah juga   terlihat sayatan yang memanjang .
            “Kalian…kalian harus …” Hanya itu yang sempat diucapkan oleh Boy sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.
            “Sial! Kenapa kalau mau ke belakang nggak bilang. Sial! Kenapa begini jadinya.”Bimo mulai kesal.
            Bimo menghempaskan badannya ke sofa  dengan kesal. “Lebih baik kita pergi dari sini sekarang. “ Bimo memandang kedua gadis yang ketakutan itu.
            “Aku sangat setuju, bukankah sejak semula aku telah mengatakan tempat ini tidak bagus untuk kita.” Sahut Sandra.
            Tapi kunci mobil yang semula dipegang Boy entah ditaruh di mana olehnya. Bimo mengecek kantong baju dan celana Boy. Tidak ada. Mereka mencari ke mana-mana, tapi masih belum jumpa.
            “Sial!benar-benar sial!” Bimo menyepakkan kakinya ke sofa. Dia benar-benar putus asa sekarang.
            “Tak ada jalan lain, kita harus menghadapi pembunuh itu. Aku ingin melihat wajah penjagal keparat itu. Akan kuhabisi dia.” Bimo berjalan ke dapur kemudian memeriksa laci dapur. Dia mengambil  dua buah pisau dapur yang  berkilat.
            “Sandra, periksalah kulkas apakah masih  ada makanan atau minuman untuk kita. “Bimo  memerintah. Sandra mengambil tiga kaleng softdrink dan makanan ringan yang mereka bawa tadi dari dalam kulkas.
            Wajah Sandra berubah pucat saat mereka kembali ke ruang santai. Minuman yang ada di tangannya terjatuh .
            “Ada apa San?” tanya Shera.
            “Lukisan itu…” Sandra mulai gemetar.
            Bimo dan Shera mengamati lukisan di depan mereka. Ada tiga mayat yang terlihat di sana. Seorang cowok tergeletak di lantai dekat sofa dengan luka sayatan di sekujur tubuhnya, kemudian seorang gadis tergeletak di sofa dengan mulut penuh busa. Sedang seorang lagi dengan leher hampir terputus tergeletak di meja bartender.
            “Tadi tidak seperti itu.” Bimo memperhatikan sekali lagi dengan seksama.
            “Kurasa rumah ini berhantu Bim.” Sandra mulai bergidik.
            “Aku pikir juga begitu. Tadi lukisan ini tidak begini. Satu , dua,tiga,empat,lima,e…., lihat ada enam orang yang ada di dalam lukisan ini dan sudah tiga orang yang mati.”
            Sandra memperhatikan. Tapi kembali ia bergidik takala dilihatnya lagi gadis bergaun merah itu di dalam lukisan.
            “Dia, kurasa dia.”
            “Sandra..siapa maksudmu?”
“Gadis  bergaun merah itu.”  Bimo memperhatikan gadis bergaun merah yang dimaksud Sandra. Tapi tidak terlihat.
“Tak ada gadis yang bergaun merah.” Ucap Bimo. Sandra kembali melihat, benar tak terlihat lagi.
“Kurasa kita semua menjadi incarannya.” Shera angkat bicara dengan gemetar. Bimo dan Sandra memandangnya.
“Bukankah kalian bilang, semula lukisan itu tidak begitu bukan? Kini terlihat ada tiga orang yang mati dan masih tampak tiga yang tersisa. Kita di sini ada enam orang dan telah meninggal tiga, jadi kita hanya menunggu giliran siapa berikutnya.” Shera memandang Bimo dan Sandra sambil menangis.
“Aku, aku ingin pulang. Kumohon, bawa aku pulang sekarang.” Shera menangis . Dia benar-benar takut. Pesta yang seharusnya untuk bersenang-senang malah membawa maut bagi mereka. Sungguh malam neraka bagi mereka semua.
“Kalian beristirahatlah, biar aku yang berjaga-jaga.” Ucap Bimo sambil menenangkan kedua temannya.
Mata Bimo sendiri sudah lelah. Begitu pun dengan badan dan pikirannya. Inginnya segera pagi dan pergi dari villa ini. Bimo menoleh saat ia merasa sekelebat bayangan melintas di belakangnya.  Tak ada siapa-siapa. Bimo mulai waspada dan mempertajam pendengaran dan penglihatannya.
Perlahan ia bangkit dari tempatnya. Memeriksa dan waspada dengan pisau di tangannya. Siapapun dan apapun itu ia sudah bertekat melawan.
Kembali sekelebat bayangan melintas , kali ini di teras depan. Bimo berlari ke depan. Sementara itu Shera terbangun karena terganggu oleh kaki Sandra yang menyepaknya. Sungguh lasak sekali Sandra.
Bimo, ke mana Bimo? Jantung Shera hampir berhenti berdetak. Shera memandang ke ruang tamu, matanya melihat sekelebat bayangan dari teras. Segera ia berlari ke luar. Tak ada siapa-siapa.
“Oh Shit! Aku terjebak olehnya.” Sesal Bimo saat kembali ke villa di dapatinya mayat Shera tergeletak dengan baju terkoyak seperti dicakar tak jauh dari tempat Rani. Bahu dan dadanya terkelupas dan seperti yang lain tangannya juga ada luka sayatan.    
            “Sandra, bangun. Kita harus pergi dari sini , Shera sudah meninggal.”
            “Apa?” Rasa kantuknya langsung hilang mendengar ucapan Bimo.
            “Tadi aku keluar sebentar untuk mengecek saat aku melihat sekelebat bayangan . Dan ketika aku kembali aku melihat mayat Shera di luar.”
            Perlahan Sandra memutar kepalanya untuk melihat lukisan di belakangnya. Kali ini sudah empat mayat yang tergeletak. Ia semakin menggigil ketakutan.
            “Tapi dengan apa kita akan pergi. Kunci mobil entah ke mana dan tempat ini sangat jauh.” Seluruh tubuhnya gemetar karena takut.
            “Entahlah, pokoknya kita harus pergi dari sini .” Bimo menarik tangannya.
             “Tapi…” Bimo  ingat sesuatu. “Kurasa kita bisa menggunakan sepeda motor tua yang ada di garasi . “Ucapnya sambil buru-buru berjalan ke garasi. Sandra mengikuti dari belakang. Tak ada kunci pada motor tua itu. Tapi Bimo mencoba berbagai cara untuk menghidupinya.
            “Berhasil,” keduanya berucap semangat. Akhirnya mereka dapat keluar dari villa menakutkan ini, pikir keduanya.
            Sandra naik keboncengan Bimo. Segera cowok itu memacu motor tua yang dikendarainya. Tapi setelah berjalan beberapa lama…
            “San, sadarkah kau kalau ada yang aneh di sini?” Bimo mulai ketakutan. Sandra memperhatikan sekelilingnya.
            “Ya…kita..sudah berapa lama kita berjalan, tapi rasanya masih di tempat yang sama…”Sandra mulai menangis karena takut.
            “Bim, apa yang harus kita lakukan?”
            Kembali sekelebat bayangan melintas. Bimo mulai waspada kembali. Segera ia memacu motor tuanya. Tapi tak bisa melaju. Hanya bannya saja yang bergerak. Sandra  memeluk Bimo erat.
            Suara cekikikan menambah seram pagi yang gelap. Kelebat bayangan berbaju merah itu terbang ke sana kemari melintas di depan mereka.
            “Aku tidak takut padamu,” tantang Bimo sambil memandang sekeliling.
            “Bim,” Sandra cemas.
            “Aku akan melawannya.” Ujar Bimo dengan tegas.
            Kembali suara menyeramkan itu terdengar. Bimo mencoba untuk memacu motor tuanya dan berhasil. Tapi keduanya terpental ke tanah saat motor menabrak batu besar yang tidak terlihat oleh mereka.
            “San, kau tak apa-apa?” Bimo menghampiri Sandra yang terhempas cukup kuat hingga gadis itu muntah darah.
            “Tidak, aku hanya ingin pulang.” Susah payah Sandra berbicara. Ia tahu mereka tak akan menang melawan hantu wanita itu. Tapi ia ingin pulang.
            “Dengar, aku tak tahu siapa kau. Tapi kami tak bermaksud mengganggumu. Jadi jangan ganggu kami lagi.” Teriak Bimo pada hantu bergaun merah itu.
            Suara tawa terdengar, “Tapi aku suka mengganggu kalian. Aku akan menghabisi kalian semua.” Sahutnya kembali tertawa dengan suaranya yang bisa menaikkan bulu roma.
            Bimo mencoba meraih motor tuanya yang tergeletak tak jauh darinya. Tapi saat ia naik ke motornya , motor itu  melaju sendiri dengan cepatnya. Bimo yang tak mempersiapkan diri terhempas dengan badan terbanting ke pohon. Bagai ada yang mengendarai motor itu sekali lagi melaju kencang. Bimo yang masih kepayahan tak sempat menghindar saat motor tua itu menabraknya.
            “Bim..Bimo..” kini tinggal Sandra yang terpaku di tempatnya, tak tahu kini bagaimana keadaan Bimo sekarang.  Ia berusaha berdiri. Tapi suara tawa yang menyeramkan dan sekelebat bayangan itu kembali mengganggunya. Sandra berusaha melarikan diri. Susah payah dirinya berlari sambil sesekali memanggil nama Bimo.
            “Ah,” Kaki Sandra kesandung dan ia terjatuh oleh sesuatu.
            “Bimo….” Tubuh Bimo yang terkapar dengan luka di dada  akibat tertusuk pedal motor tua , sedang bahu atasnya hampir putus akibat terpotong benda tajam. Sandra benar-benar tak kuat lagi. Dan tiba-tiba saja ia sudah pingsan karena tak tahan melihat mayat Bimo yang tergeletak mengenaskan di depannya. .
            Ketika ia sadar, beberapa orang sudah mengelilinginya. Dan mayat Bimo mulai dievakuasi oleh orang-orang di sana.
            “Bimo…Bimo….”Hanya itu yang bisa diucapkannya saat beberapa orang bertanya padanya. Mata gadis itu tampak kosong, ia seakan kehilangan seluruh kesadarannya. Polisi juga sudah datang di TKP, karena tidak ada ambulans Sandra di bawa ke puskesmas terdekat dengan mobil polisi untuk mendapatkan perawatan intensif.
            Penduduk desa setempat sudah dapat menebak apa yang telah terjadi. Hantu gaun merah pasti kembali mengganggu penyewa villa terpencil itu lagi. Mereka juga tahu, hantu itu tidak sembarang mengganggu orang yang menyewa villa itu selain karena ia ingin memberi pelajaran kepada mereka yang berbuat tidak senonoh di villa itu.
            Sepuluh tahun yang lalu, gadis bergaun merah itu   mengadakan pesta semalam suntuk untuk merayakan kelulusan bersama teman-teman SMU-nya. Dan beberapa teman cowoknya membawa minuman keras dan obat-obatan . Tapi sialnya tanpa sepengetahuan dirinya teman-temannya membubuhkan obat perangsang di minumannya. Hingga ia diperkosa oleh beberapa temannya secara bergilir.  Saat tersadar semua teman-temannya sudah pergi meninggalkannya sendiri. Dan di pagi itu, saat matahari baru beranjak dari ufuk timur di tengah penyesalan dan keputusasaannya, ia memutuskan untuk membunuh dirinya dengan pecahan kaca bekas gelas minumnya. Sejak itu pula setiap penyewa villa yang mengadakan pesta serupa pasti akan diganggu dan dibunuh olehnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar