Senin, 02 Januari 2012

GADIS KUNANG-KUNANG



Malam beranjak menyisakan kepenatan karena lembur di kantor. Sudah pukul delapan, waktunya aku untuk pulang. Ryan dan Yoga pun sudah mulai bersiap untuk kembali ke rumah masing-masing.
            “Langsung pulang, Yan?” Tegur Yoga pada Ryan yang berjalan di sebelah kanannya.
            “Iya, capek sekali. Lagipula aku sudah kangen pada si kecil.” Ryan menjawab sambil tersenyum.
            “Segitunya yang baru jadi bapak baru.” Goda Yoga.
           “Maklumlah.” Ryan tersenyum.
            “Kau  dulu juga begitu, kan?”
            “Kalau aku, waktu lihat anakku ngedot sama ibunya, rasanya mau juga.” Sifat gila Yoga mulai kambuh.
               “Bim, kau kapan menyusul kita? Awas, jangan sampai ketuaan.” Yoga berkata padaku. Saat ini kami sudah ada di dalam lift menuju tempat parkir mobil.
           “Boro-boro. Pacar saja aku belum punya.” Sahutku.
           “Makanya Bim, jangan suka pilih-pilih.”
           “Kadang aku  heran  dengan selera Bima.” Yoga berkata pada Ryan.
          “Kenapa?” tanya Ryan.
          “Gadis secantik Rara dilewatkan begitu saja. Padahal bodinya yahud, tampang  artis. Aneh kan? ” Ryan tertawa.
         “Iya. Kau memang aneh Bim.” Bilang Ryan.
         “Bukan aku yang aneh, tapi Rara. Cantik sih cantik, cuma menor abis Cing! Mana genitnya aujubilah lagi! Boro-boro mau aku jadiin istri. Jadi pacar saja meragukan.” Aku membela diri.
       “Kalau Sania?” Ryan bertanya tentang sekretaris direktur yang memberiku perhatian.
       “Sejujurnya dia cantik, tapi terlalu aktif  perhatian padaku. Jadi risih.”
       “Bima, Bima…aneh kau!” Yoga tertawa lagi.
       “Sudah…sudah, tidak usah ngurusin aku. Pulang gih, mik susu.” Balasku pada keduanya saat kami sudah berada di lantai dasar tempat parkir. Mereka terkekeh melihat aku yang kesal.
       “Ya sudah, jumpa besok.” Ryan dan Yoga berkata sambil masuk ke mobil masing-masing, begitu juga aku.
       Aku masih enggan untuk kembali ke rumah, meski ada  orang tuaku yang datang dari kampung. Aku tidak mau saat ngobrol nanti orang tuaku menanyakan tentang kapan aku akan menikah.
      Sebenarnya, tidak salah mereka menanyakan hal itu. Umurku sudah lebih dari cukup. Usia tiga puluh dua tahun merupakan standar bagi pria metropolitan seperti aku ini untuk menikah. Sayangnya, aku belum menemukan gadis pemilik tulang rusukku.
      Dulu, aku pernah pacaran dengan seorang gadis. Namanya Ratna. Cantik, sexy dan cerdas. Punya jabatan yang lumayan, tapi karena jabatannya yang lumayan itu hubungan kami menjadi hancur. Ternyata jabatan yang dia miliki hasil “main mata” dengan atasannya. Siapa yang mau diduakan? Akhirnya, kuputuskan untuk meninggalkan gadis itu.
      Kini, aku lebih tertarik dengan gadis sederhana, yang tidak neko-neko. Tidak perlu cantik tapi enak dilihat, tidak perlu secerdas Ratna,namun kalau diajak ngobrol bisa nyambung. Tidak perlu sexy, karena aku tidak mau membagi tubuh kekasih atau istriku dengan mata orang lain.
       Ah, kenapa aku jadi ngelantur begini? Lebih baik aku santai. Kebetulan di depan sana ada sebuah bar. Aku ingin menghabiskan malam ini dengan segelas minuman.
       Ruang yang lumayan besar dengan cahaya remang-remang penuh asap menyambutku. Tempat ini sudah beberapa kali kukunjungi bersama Ryan dan Yoga.  Bartendernya menyapaku ramah ketika aku duduk di hadapannya.
      “Minum apa Mas?” tegurnya.
      Aku menyebut salah satu minuman beralkohol ringan. Aku tidak menyukai wiski atau sejenisnya. Karena perutku tidak cukup familiar dengan alkohol kadar tinggi yang terkandung dalam  minuman itu. Setiap kali aku meminum wiski atau vodka, maka aku akan muntah . Itu artinya sama saja aku memuntahkan uangku he..he..
      Mataku menangkap sosok seorang gadis yang duduk di sudut ruangan kiri tempatku berada. Di sisinya ada seorang lelaki perlente ditemani beberapa wanita cantik termasuk gadis itu. Aku menangkap ketidakgembiraan pada wajahnya. Dia menolak saat pria  itu menyodorkan segelas vodka padanya.
      “Hei, jangan munafik. Kalau mau kerja di sini maka kau harus  menemaniku minum. Bukan duduk-duduk saja seperti patung!” Bentak pria perlente itu. Gadis itu hanya diam. Dia masih menolak takala pria itu memaksanya sekali lagi.
      “Kumohon jangan paksa aku.” Gadis itu mengiba.
      “Cui, dasar cewek kampung!” Pria perlente itu menjambak rambutnya. Gadis itu menahan sakit.
      “Sudahlah Mas, dia masih baru. Lama-lama akan terbiasa. Sekarang, biar aku saja yang menemani Mas minum, ya.” Wanita yang duduk di sisi sebelah kiri pria itu membujuknya.
      Aku masih memperhatikan beberapa orang yang duduk di meja nomor lima itu. Terutama gadis yang dikatakan cewek kampung tadi. Gadis itu cantik, meski hanya dengan polesan ringan. Bentuk tubuhnya juga bagus. Rambutnya yang hitam sebatas bahu digerai, matanya masih sembab menahan kesedihannya.
      Malam beranjak tua, mataku masih belum  lelah memperhatikan gadis itu. Untunglah ada temannya yang beberapa kali membujuk  saat pria tadi memaksanya untuk minum bersama.
      “Baiklah, aku harus pulang sekarang. Nah, peri-periku yang cantik, dewamu akan memberikan ini pada kalian.” Pria itu mengeluarkan segepok uang lima puluh ribuan dan membagikan kepada gadis-gadis itu.
      “Hari ini aku sedang baik. Aku akan memberikan kau lebih banyak uang daripada mereka, tapi janji, besok kau harus menemani aku minum ya , Sayang.” Pria perlente itu berkata pada gadis yang sempat dihinanya.
      Gadis itu diam. Tidak mengatakan apapun. Telapak tangannya dibuka pria tadi untuk menerima uangnya. Setelah pria itu pergi, dia terduduk sambil menangis dalam gelap ruang di sudut bar ini.
       “Sudahlah Rin, anggaplah ini takdirmu. Kau harus menerima kalau sekarang kau gadis penghibur.” Bujuk gadis yang tadi membelanya.
       “Mbak, bukan pekerjaan ini yang aku inginkan.” Dalam derai air mata dia memandang rekannya.
       “Jika kau ingin kerja yang halal, kau tidak akan mendapat uang banyak Rin. Lihatlah, dalam beberapa jam saja uang ratusan ribu rupiah sudah di tanganmu.”
        “Tak lama lagi, kau akan bisa mengumpulkan uang untuk membayar hutang ayahmu pada rentenir di kampung.”
        Gadis yang hanya kutahu bernama Rin itu memandang uang di tangannya.
        “Kasihan dia ya, Mas, “ suara bartender mengagetkanku, “dia itu gadis kampung. Ke kota mencari kerja supaya  dapat membayar hutang ayahnya.Tidak tahunya, dia tersesat ke tempat seperti ini dibawa oleh seorang gigolo yang bertemu dengannya di terminal.”
        “Namanya siapa Mas?” Tanyaku.
        “Rini..” Sebut si bartender.
        Baru beberapa menit aku memalingkan wajahku, gadis itu sudah menghilang. Akhirnya aku pun kembali ke rumah. Aku berusaha memejamkan mata, tapi bayangan Rini menggangguku. Dia seperti kunang-kunang di malamku yang melelahkan. Tanpa disadari gadis itu telah menyinari hatiku. Jatuh cintakah aku? Gila! Padahal aku baru melihatnya  tak lama.
        Malam beranjak dan mataku mulai sulit kuajak berjaga. Aku tertidur pulas hingga alarm handphone-ku berbunyi.
       Malam berikutnya aku kembali ke bar itu. Berharap bertemu dengan Rini. Seperti biasa , aku memilih duduk di depan bartender. Mataku mulai menyapu ruang mencari sosok Rini.     
        “Cari Rini Mas?” Tegur bartender yang berdiri di depan tempat dudukku. Aku tersenyum salah tingkah.    
        “Dia di kamar delapan. Sedang menemani tamu-nya yang tadi malam itu berkaraoke.” Celoteh si bartender. Aku sedikit kecewa. Kalau di dalam ruangan, aku tidak bisa melihatnya. Sedang apa mereka aku juga tidak tahu. Apakah Rini akan dipaksa minum lagi oleh pria kemarin?
         Akhirnya aku menghabiskan waktu ngobrol dengan bartender itu. Saat sedang asyik bercerita, tiba-tiba terdengar suara ribut dari salah satu ruang karaoke. Tak lama pintu terbuka.
         “Kau pikir kau ini siapa hah?” pria yang kemarin kulihat menarik rambut seorang wanita. Di tengah remang cahaya aku tak begitu tahu wanita mana yang begitu sial mendapat tamu begitu. Jangan – jangan Rini, batinku tak enak.
         “Kau pikir kau cantik kali hah? Seratus gadis sepertimu pun aku bisa beli. Dasar gadis desa tak tahu diri. Sok suci kau!” Maki lelaki itu sambil mendorong wanita tadi hingga terjatuh. Orang – orang di bar terdiam, mereka melihat dengan wajah tegang kejadian itu. Tak ada seorang pun yang berani ikut campur.
         Aku mengepalkan tangan. Lelaki kurang ajar, berani sekali menganiaya wanita. Mentang-mentang punya banyak uang.,ucap hatiku panas.
       “Sudahlah Bang, jangan kasar terhadapnya. Dia masih baru Bang,” Seorang wanita bergaun merah sexy menahan tangan lelaki itu ketika dia menarik sekali lagi rambut wanita itu. Memaksanya untuk berdiri.
      “Rini,” Gumamku. Rupanya wanita yang teraniaya itu Rini. Aku maju selangkah, sambil menunggu apa yang akan dilakukan lelaki itu. Kalau dia memperlakukan lebih kasar lagi akan kuhajar dia.
     “Baru..baru… Selalu saja itu alasanmu!” Lelaki itu membentak wanita bergaun merah.
     “Dan kau…” Lelaki itu memandang Rini, gadis itu meringis kesakitan.
     “Kau sekarang perek. Jadi, jangan sok suci!” lelaki itu berkata sambil tersenyum lalu mencium paksa Rini.
     BUK! Satu tinju menghantam wajah lelaki itu. Aku sudah tidak tahan, keberanianku muncul begitu saja. Rini menatapku terpana, begitu pula wanita yang membelanya tadi.
     “Siapa kau berani ikut campur?” Lelaki itu memandangku kaget tak menyangka akan menerima tinju dariku.
     “Lelaki jantan tidak menganiaya wanita, Bung.” Ucapku tak menjawab pertanyaannya.
     “Hei, mengapa kalian diam saja? Hajar dia!” Ucap lelaki itu pada dua anak buahnya yang berbaju hitam.      
      Sebelum mereka berhasil menguasaiku aku berusaha mengelak. Untung aku pernah mengikuti ekstra kurikuler karate saat aku duduk di kelas lanjutan atas. Hanya pukulan angin yang dihasilkan dua algojo itu. 
     Botol minuman yang terlihat olehku di salah satu meja segera kuraih. Secepat kilat aku menyambar tubuh lelaki yang menganiaya Rini. Memecahkan botol minuman , mencekal tangannya dan mengarahkan ujung botol minuman yang pecah itu ke lehernya.
     “Maju selangkah lagi aku tak segan-segan melukai bos-mu.” Ucapku pada dua algojo yang melangkah maju.
     “Dan kau, sekali lagi kau bersikap tak sopan pada wanita , aku tak akan segan-segan untuk mencabut nyawamu. “ Kataku pada lelaki yang berdiri di depanku dengan sebelah tangan kucekal.
     “Sekarang, minta maaf pada Rini.” Perintahku.
     Kulihat Rini memandang kami dengan takut.
     “Ayo, atau kau akan menyesal pernah berada di sini.” Ucapku.
     “Aku minta maaf.” Lelaki itu akhirnya membuka suara untuk minta maaf pada Rini.
     “Berjanjilah padanya untuk tidak memaksa bila dia tidak mau melakukan apa yang kau minta.” Perintahku lagi. “Ayo. “ Ucapku memaksa.
     “Aku berjanji tak akan memaksamu lagi, Rin.”
     Aku melepaskan tangan lelaki itu. Lalu dia dan dua algojonya beranjak pergi.
     Tepuk tangan riuh tiba-tiba terdengar. Rupanya si bartender memberi aplaus untukku diikuti yang lain. Aku tersenyum padanya. Lalu berpaling pada Rini.
     “Kau tak apa-apa?” Tanyaku. Dia menggeleng.
     “Tidak. Aku tidak apa-apa.” Ucapnya malu-malu.
     “Terima kasih sudah menolong saya.”
     “Tidak apa-apa. Sudah menjadi kewajibanku menolong yang lemah.”
     “Mau minum?” Ajakku untuk menghilangkan ketegangan yang sempat tercipta.
     “Tidak, terima kasih. Saya harus pulang sekarang.”
     “Di mana rumahmu, biar kuantar.” Semula Rini menolak. Akhirnya mau juga setelah kudesak. Kukatakan mungkin saja lelaki tadi masih ada di depan menunggunya.
     “Mengapa kau bekerja di tempat seperti itu kalau kau tak suka?” Aku membuka pembicaraan ketika kami sudah ada di mobilku.
     Seperti yang kudengar dari bartender kemarin, begitu juga yang diceritakan Rini padaku.
     Tiba-tiba aku teringat pada Tante Andini yang membuka butik di salah satu mall. Beberapa waktu yang lalu dia pernah bertanya padaku apakah  ada orang yang mau bekerja di butiknya.
     “Bila ada lowongan kerja lain, apa kau mau? Menjadi penjaga toko misalnya, gajinya sedikit sih.” Ucapku.
     “Jadi apa pun, asal halal aku akan kerjakan. Apa ada?” Tanyanya dengan mata penuh harap.
     “Tanteku membuka butik. Besok akan kutanyakan apakah lowongan yang kosong kemarin sudah terisi. Nanti akan kukabari.” Ucapku.
     Akhirnya Rini bekerja di butik Tante Andini , adik ayahku. Aku melihat bening  matanya yang berkilau. Persis kunang-kunang. Saban siang aku kunjungi dia sambil mengajaknya makan siang. Tante Andini sepertinya tahu kalau aku menyukai Rini. Tiga bulan kemudian  aku dan Rini berpacaran. Aku kenalkan dia pada kedua orang tuaku. Ibu dan bapakku sangat senang padanya. Tante Andini juga memuji pribadi Rini, dia bukan saja cantik, tapi juga rajin dan santun.
     Tak lupa kukenalkan juga gadis pujaanku itu pada Yoga dan Ryan.
     “Gila, hebat betul pilihanmu Bim. Kau dapat dari mana gadis secantik ini?” Yoga berkata sambil tertawa. Wajah Rini tersipu.
     “Dik Rini, beruntung Adik mendapatkan Bima. Dia itu banyak penggemarnya di kantor, tapi Adiklah yang dipilihnya.” Ryan berkata. Rini tersenyum.
     “Nah, kapan kami dapat undangan resmi dari kalian berdua?” tanya Yoga.
     “Ditunggu sajalah. Doakan  secepat mungkin.”
     Aku juga tidak sabar menyunting Rini, pemilik tulang rusukku. Akhirnya kudapati juga gadis yang sesuai dengan hatiku.
    

   
        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar