Senin, 02 Januari 2012

GADIS KUNANG-KUNANG



Malam beranjak menyisakan kepenatan karena lembur di kantor. Sudah pukul delapan, waktunya aku untuk pulang. Ryan dan Yoga pun sudah mulai bersiap untuk kembali ke rumah masing-masing.
            “Langsung pulang, Yan?” Tegur Yoga pada Ryan yang berjalan di sebelah kanannya.
            “Iya, capek sekali. Lagipula aku sudah kangen pada si kecil.” Ryan menjawab sambil tersenyum.
            “Segitunya yang baru jadi bapak baru.” Goda Yoga.
           “Maklumlah.” Ryan tersenyum.
            “Kau  dulu juga begitu, kan?”
            “Kalau aku, waktu lihat anakku ngedot sama ibunya, rasanya mau juga.” Sifat gila Yoga mulai kambuh.
               “Bim, kau kapan menyusul kita? Awas, jangan sampai ketuaan.” Yoga berkata padaku. Saat ini kami sudah ada di dalam lift menuju tempat parkir mobil.
           “Boro-boro. Pacar saja aku belum punya.” Sahutku.
           “Makanya Bim, jangan suka pilih-pilih.”
           “Kadang aku  heran  dengan selera Bima.” Yoga berkata pada Ryan.
          “Kenapa?” tanya Ryan.
          “Gadis secantik Rara dilewatkan begitu saja. Padahal bodinya yahud, tampang  artis. Aneh kan? ” Ryan tertawa.
         “Iya. Kau memang aneh Bim.” Bilang Ryan.
         “Bukan aku yang aneh, tapi Rara. Cantik sih cantik, cuma menor abis Cing! Mana genitnya aujubilah lagi! Boro-boro mau aku jadiin istri. Jadi pacar saja meragukan.” Aku membela diri.
       “Kalau Sania?” Ryan bertanya tentang sekretaris direktur yang memberiku perhatian.
       “Sejujurnya dia cantik, tapi terlalu aktif  perhatian padaku. Jadi risih.”
       “Bima, Bima…aneh kau!” Yoga tertawa lagi.
       “Sudah…sudah, tidak usah ngurusin aku. Pulang gih, mik susu.” Balasku pada keduanya saat kami sudah berada di lantai dasar tempat parkir. Mereka terkekeh melihat aku yang kesal.
       “Ya sudah, jumpa besok.” Ryan dan Yoga berkata sambil masuk ke mobil masing-masing, begitu juga aku.
       Aku masih enggan untuk kembali ke rumah, meski ada  orang tuaku yang datang dari kampung. Aku tidak mau saat ngobrol nanti orang tuaku menanyakan tentang kapan aku akan menikah.
      Sebenarnya, tidak salah mereka menanyakan hal itu. Umurku sudah lebih dari cukup. Usia tiga puluh dua tahun merupakan standar bagi pria metropolitan seperti aku ini untuk menikah. Sayangnya, aku belum menemukan gadis pemilik tulang rusukku.
      Dulu, aku pernah pacaran dengan seorang gadis. Namanya Ratna. Cantik, sexy dan cerdas. Punya jabatan yang lumayan, tapi karena jabatannya yang lumayan itu hubungan kami menjadi hancur. Ternyata jabatan yang dia miliki hasil “main mata” dengan atasannya. Siapa yang mau diduakan? Akhirnya, kuputuskan untuk meninggalkan gadis itu.
      Kini, aku lebih tertarik dengan gadis sederhana, yang tidak neko-neko. Tidak perlu cantik tapi enak dilihat, tidak perlu secerdas Ratna,namun kalau diajak ngobrol bisa nyambung. Tidak perlu sexy, karena aku tidak mau membagi tubuh kekasih atau istriku dengan mata orang lain.
       Ah, kenapa aku jadi ngelantur begini? Lebih baik aku santai. Kebetulan di depan sana ada sebuah bar. Aku ingin menghabiskan malam ini dengan segelas minuman.
       Ruang yang lumayan besar dengan cahaya remang-remang penuh asap menyambutku. Tempat ini sudah beberapa kali kukunjungi bersama Ryan dan Yoga.  Bartendernya menyapaku ramah ketika aku duduk di hadapannya.
      “Minum apa Mas?” tegurnya.
      Aku menyebut salah satu minuman beralkohol ringan. Aku tidak menyukai wiski atau sejenisnya. Karena perutku tidak cukup familiar dengan alkohol kadar tinggi yang terkandung dalam  minuman itu. Setiap kali aku meminum wiski atau vodka, maka aku akan muntah . Itu artinya sama saja aku memuntahkan uangku he..he..
      Mataku menangkap sosok seorang gadis yang duduk di sudut ruangan kiri tempatku berada. Di sisinya ada seorang lelaki perlente ditemani beberapa wanita cantik termasuk gadis itu. Aku menangkap ketidakgembiraan pada wajahnya. Dia menolak saat pria  itu menyodorkan segelas vodka padanya.
      “Hei, jangan munafik. Kalau mau kerja di sini maka kau harus  menemaniku minum. Bukan duduk-duduk saja seperti patung!” Bentak pria perlente itu. Gadis itu hanya diam. Dia masih menolak takala pria itu memaksanya sekali lagi.
      “Kumohon jangan paksa aku.” Gadis itu mengiba.
      “Cui, dasar cewek kampung!” Pria perlente itu menjambak rambutnya. Gadis itu menahan sakit.
      “Sudahlah Mas, dia masih baru. Lama-lama akan terbiasa. Sekarang, biar aku saja yang menemani Mas minum, ya.” Wanita yang duduk di sisi sebelah kiri pria itu membujuknya.
      Aku masih memperhatikan beberapa orang yang duduk di meja nomor lima itu. Terutama gadis yang dikatakan cewek kampung tadi. Gadis itu cantik, meski hanya dengan polesan ringan. Bentuk tubuhnya juga bagus. Rambutnya yang hitam sebatas bahu digerai, matanya masih sembab menahan kesedihannya.
      Malam beranjak tua, mataku masih belum  lelah memperhatikan gadis itu. Untunglah ada temannya yang beberapa kali membujuk  saat pria tadi memaksanya untuk minum bersama.
      “Baiklah, aku harus pulang sekarang. Nah, peri-periku yang cantik, dewamu akan memberikan ini pada kalian.” Pria itu mengeluarkan segepok uang lima puluh ribuan dan membagikan kepada gadis-gadis itu.
      “Hari ini aku sedang baik. Aku akan memberikan kau lebih banyak uang daripada mereka, tapi janji, besok kau harus menemani aku minum ya , Sayang.” Pria perlente itu berkata pada gadis yang sempat dihinanya.
      Gadis itu diam. Tidak mengatakan apapun. Telapak tangannya dibuka pria tadi untuk menerima uangnya. Setelah pria itu pergi, dia terduduk sambil menangis dalam gelap ruang di sudut bar ini.
       “Sudahlah Rin, anggaplah ini takdirmu. Kau harus menerima kalau sekarang kau gadis penghibur.” Bujuk gadis yang tadi membelanya.
       “Mbak, bukan pekerjaan ini yang aku inginkan.” Dalam derai air mata dia memandang rekannya.
       “Jika kau ingin kerja yang halal, kau tidak akan mendapat uang banyak Rin. Lihatlah, dalam beberapa jam saja uang ratusan ribu rupiah sudah di tanganmu.”
        “Tak lama lagi, kau akan bisa mengumpulkan uang untuk membayar hutang ayahmu pada rentenir di kampung.”
        Gadis yang hanya kutahu bernama Rin itu memandang uang di tangannya.
        “Kasihan dia ya, Mas, “ suara bartender mengagetkanku, “dia itu gadis kampung. Ke kota mencari kerja supaya  dapat membayar hutang ayahnya.Tidak tahunya, dia tersesat ke tempat seperti ini dibawa oleh seorang gigolo yang bertemu dengannya di terminal.”
        “Namanya siapa Mas?” Tanyaku.
        “Rini..” Sebut si bartender.
        Baru beberapa menit aku memalingkan wajahku, gadis itu sudah menghilang. Akhirnya aku pun kembali ke rumah. Aku berusaha memejamkan mata, tapi bayangan Rini menggangguku. Dia seperti kunang-kunang di malamku yang melelahkan. Tanpa disadari gadis itu telah menyinari hatiku. Jatuh cintakah aku? Gila! Padahal aku baru melihatnya  tak lama.
        Malam beranjak dan mataku mulai sulit kuajak berjaga. Aku tertidur pulas hingga alarm handphone-ku berbunyi.
       Malam berikutnya aku kembali ke bar itu. Berharap bertemu dengan Rini. Seperti biasa , aku memilih duduk di depan bartender. Mataku mulai menyapu ruang mencari sosok Rini.     
        “Cari Rini Mas?” Tegur bartender yang berdiri di depan tempat dudukku. Aku tersenyum salah tingkah.    
        “Dia di kamar delapan. Sedang menemani tamu-nya yang tadi malam itu berkaraoke.” Celoteh si bartender. Aku sedikit kecewa. Kalau di dalam ruangan, aku tidak bisa melihatnya. Sedang apa mereka aku juga tidak tahu. Apakah Rini akan dipaksa minum lagi oleh pria kemarin?
         Akhirnya aku menghabiskan waktu ngobrol dengan bartender itu. Saat sedang asyik bercerita, tiba-tiba terdengar suara ribut dari salah satu ruang karaoke. Tak lama pintu terbuka.
         “Kau pikir kau ini siapa hah?” pria yang kemarin kulihat menarik rambut seorang wanita. Di tengah remang cahaya aku tak begitu tahu wanita mana yang begitu sial mendapat tamu begitu. Jangan – jangan Rini, batinku tak enak.
         “Kau pikir kau cantik kali hah? Seratus gadis sepertimu pun aku bisa beli. Dasar gadis desa tak tahu diri. Sok suci kau!” Maki lelaki itu sambil mendorong wanita tadi hingga terjatuh. Orang – orang di bar terdiam, mereka melihat dengan wajah tegang kejadian itu. Tak ada seorang pun yang berani ikut campur.
         Aku mengepalkan tangan. Lelaki kurang ajar, berani sekali menganiaya wanita. Mentang-mentang punya banyak uang.,ucap hatiku panas.
       “Sudahlah Bang, jangan kasar terhadapnya. Dia masih baru Bang,” Seorang wanita bergaun merah sexy menahan tangan lelaki itu ketika dia menarik sekali lagi rambut wanita itu. Memaksanya untuk berdiri.
      “Rini,” Gumamku. Rupanya wanita yang teraniaya itu Rini. Aku maju selangkah, sambil menunggu apa yang akan dilakukan lelaki itu. Kalau dia memperlakukan lebih kasar lagi akan kuhajar dia.
     “Baru..baru… Selalu saja itu alasanmu!” Lelaki itu membentak wanita bergaun merah.
     “Dan kau…” Lelaki itu memandang Rini, gadis itu meringis kesakitan.
     “Kau sekarang perek. Jadi, jangan sok suci!” lelaki itu berkata sambil tersenyum lalu mencium paksa Rini.
     BUK! Satu tinju menghantam wajah lelaki itu. Aku sudah tidak tahan, keberanianku muncul begitu saja. Rini menatapku terpana, begitu pula wanita yang membelanya tadi.
     “Siapa kau berani ikut campur?” Lelaki itu memandangku kaget tak menyangka akan menerima tinju dariku.
     “Lelaki jantan tidak menganiaya wanita, Bung.” Ucapku tak menjawab pertanyaannya.
     “Hei, mengapa kalian diam saja? Hajar dia!” Ucap lelaki itu pada dua anak buahnya yang berbaju hitam.      
      Sebelum mereka berhasil menguasaiku aku berusaha mengelak. Untung aku pernah mengikuti ekstra kurikuler karate saat aku duduk di kelas lanjutan atas. Hanya pukulan angin yang dihasilkan dua algojo itu. 
     Botol minuman yang terlihat olehku di salah satu meja segera kuraih. Secepat kilat aku menyambar tubuh lelaki yang menganiaya Rini. Memecahkan botol minuman , mencekal tangannya dan mengarahkan ujung botol minuman yang pecah itu ke lehernya.
     “Maju selangkah lagi aku tak segan-segan melukai bos-mu.” Ucapku pada dua algojo yang melangkah maju.
     “Dan kau, sekali lagi kau bersikap tak sopan pada wanita , aku tak akan segan-segan untuk mencabut nyawamu. “ Kataku pada lelaki yang berdiri di depanku dengan sebelah tangan kucekal.
     “Sekarang, minta maaf pada Rini.” Perintahku.
     Kulihat Rini memandang kami dengan takut.
     “Ayo, atau kau akan menyesal pernah berada di sini.” Ucapku.
     “Aku minta maaf.” Lelaki itu akhirnya membuka suara untuk minta maaf pada Rini.
     “Berjanjilah padanya untuk tidak memaksa bila dia tidak mau melakukan apa yang kau minta.” Perintahku lagi. “Ayo. “ Ucapku memaksa.
     “Aku berjanji tak akan memaksamu lagi, Rin.”
     Aku melepaskan tangan lelaki itu. Lalu dia dan dua algojonya beranjak pergi.
     Tepuk tangan riuh tiba-tiba terdengar. Rupanya si bartender memberi aplaus untukku diikuti yang lain. Aku tersenyum padanya. Lalu berpaling pada Rini.
     “Kau tak apa-apa?” Tanyaku. Dia menggeleng.
     “Tidak. Aku tidak apa-apa.” Ucapnya malu-malu.
     “Terima kasih sudah menolong saya.”
     “Tidak apa-apa. Sudah menjadi kewajibanku menolong yang lemah.”
     “Mau minum?” Ajakku untuk menghilangkan ketegangan yang sempat tercipta.
     “Tidak, terima kasih. Saya harus pulang sekarang.”
     “Di mana rumahmu, biar kuantar.” Semula Rini menolak. Akhirnya mau juga setelah kudesak. Kukatakan mungkin saja lelaki tadi masih ada di depan menunggunya.
     “Mengapa kau bekerja di tempat seperti itu kalau kau tak suka?” Aku membuka pembicaraan ketika kami sudah ada di mobilku.
     Seperti yang kudengar dari bartender kemarin, begitu juga yang diceritakan Rini padaku.
     Tiba-tiba aku teringat pada Tante Andini yang membuka butik di salah satu mall. Beberapa waktu yang lalu dia pernah bertanya padaku apakah  ada orang yang mau bekerja di butiknya.
     “Bila ada lowongan kerja lain, apa kau mau? Menjadi penjaga toko misalnya, gajinya sedikit sih.” Ucapku.
     “Jadi apa pun, asal halal aku akan kerjakan. Apa ada?” Tanyanya dengan mata penuh harap.
     “Tanteku membuka butik. Besok akan kutanyakan apakah lowongan yang kosong kemarin sudah terisi. Nanti akan kukabari.” Ucapku.
     Akhirnya Rini bekerja di butik Tante Andini , adik ayahku. Aku melihat bening  matanya yang berkilau. Persis kunang-kunang. Saban siang aku kunjungi dia sambil mengajaknya makan siang. Tante Andini sepertinya tahu kalau aku menyukai Rini. Tiga bulan kemudian  aku dan Rini berpacaran. Aku kenalkan dia pada kedua orang tuaku. Ibu dan bapakku sangat senang padanya. Tante Andini juga memuji pribadi Rini, dia bukan saja cantik, tapi juga rajin dan santun.
     Tak lupa kukenalkan juga gadis pujaanku itu pada Yoga dan Ryan.
     “Gila, hebat betul pilihanmu Bim. Kau dapat dari mana gadis secantik ini?” Yoga berkata sambil tertawa. Wajah Rini tersipu.
     “Dik Rini, beruntung Adik mendapatkan Bima. Dia itu banyak penggemarnya di kantor, tapi Adiklah yang dipilihnya.” Ryan berkata. Rini tersenyum.
     “Nah, kapan kami dapat undangan resmi dari kalian berdua?” tanya Yoga.
     “Ditunggu sajalah. Doakan  secepat mungkin.”
     Aku juga tidak sabar menyunting Rini, pemilik tulang rusukku. Akhirnya kudapati juga gadis yang sesuai dengan hatiku.
    

   
        

Curahan Hati Untuk Tuhan

Dear Tuhan,
             Apakah aku terlalu egois, bila aku tak ingin dia ada lagi di hidupku, meski pun hanya sebagai sahabat seperti waktu dulu. Apakah aku terlalu egois jika tak ingin mendengar apa pun tentangnya, padahal dulu ia adalah pendengarku.
            Tuhan, aku hanya tidak bisa mengingkari kalau perasaan itu masih ada untuknya. Aku hanya takut bila dia ada, maka asa itu akan terus tumbuh dan aku tak dapat mengendalikannya. Dia bisa kembali menganggapku sahabat, tapi aku tidak.
            Aku tak mengerti mengapa dia harus mengganggu hidupku lagi, mengaku bernama John Brake di Face Book, tanpa info lengkap apalagi foto. Ia mengajakku ngobrol. Berusaha mengorek keadaanku saat ini. Bertanya padaku apakah aku sudah menikah ataukah masih sendiri.
            Kau tahu Tuhan, meski pun dia sempat berbohong dan menutupi jati dirinya. Nyatanya aku bisa menebak kalau dia adalah orang yang pernah kau tempatkan di sisiku. Tentu saja, aku tahu gaya bahasa dan caranya bicara. Aku tahu semua tentangnya, sebab dia ada di hidupku tiga belas tahun lamanya. Dia mengaku orang Malaysia. Orang Malaysia yang bekerja di luar negeri selama tiga tahun. Saat aku memintanya berbahasa melayu, dia menjawab kalau dia sudah lupa dengan bahasa negaranya. Tuhan, kenapa si bodoh itu bisa membuat alasan yang membuatku tertawa dan langsung menebak kalau memang itu dirinya.
            Dia tetap mengelak saat aku menyebut namanya ROEL MILLARE ABARDO, namun akhirnya berkata,” If I am him, what will you do?”
            “Even in this world no more men except him, I will not let him in my life again.”
            Kuharap ia mengerti dengan pernyataanku. “You hate him so much?”
            Apakah aku harus menjawab pertanyaan itu ? Apakah dia ingin menguji perasaanku padanya? Apakah aku bisa membencinya, bila cinta yang kupunya mengalahkan rasa sakit yang pernah ia torehkan di hatiku.
            “Tell Roel, i already forgive him.” Ucapku padanya.
            “Are you married?” Pertanyaan yang sama yang ia lontarkan beberapa kali sebelumnya. Pertanyaan yang sengaja tak ingin kujawab.
            “Why do you want to know about it so much?”
            “I just want to know  you are happy or not.” Ucapnya.
            “Why, feel guilty for leaving me?”
            “Long distance relationship sometimes works, but sometimes not. It’s destiny.” Pembelaan diri yang baik. Tapi bukan takdir yang menentukan cinta jarak jauh berhasil atau tidak. Keberanian, hanya keberanian yang bisa menentukan keberhasikan cinta jarak jauh. Apakah kau berani menempuh jutaan mil untuk meraih cintamu. Apakah kau berani menerima resiko untuk kehilangan apa yang kau miliki demi cintamu. Apakah kau cukup berani untuk tidak melihat sekelilingmu yang mungkin lebih baik dari dirinya, dan berkomitmen untuk tetap menjaga perasaanmu demi dia yang jauh. Nyatanya lelaki  yang pernah kukenal tiga belas tahun ini tidak cukup punya keberanian.Dia bahkan belum pernah mencoba untuk menemuiku, bagaimana mungkin dia tahu kalau cinta jarak jauh kami tak akan berhasil. Dia seorang pengecut.
            “Tell Roel, thanks for the reason. Now I know how coward man  I saw in him.”
            “How if you are the only he loves.”  Jika dia orang lain dan  bukan Roel, untuk apa dia mengatakan hal ini . Apa urusannya dengan perasaan Roel padaku. Dasar, bahkan untuk mengakui dirinya pun dia tak berani. Tak heran dia tak punya keberanian untuk mengambil resiko demi cinta kami.
            Tuhan, haruskah aku tersentuh dengan kata – katanya? Sesungguhnya, getar itu masih ada namun berganti dengan rasa sakit yang luar biasa. Jika memang aku yang dia cinta, lalu mengapa harus Ivy yang ia pilih untuk ada di sisinya. Jika memang aku yang ia cinta mengapa harus Ivy yang memberi anak untuknya.
            Aku  tak mengerti mengapa ia katakan jika hanya aku yang ia cinta. Masih inginkah ia membangunkan istana di langit untukku. Setelah istana yang dulu ia bangun di atas mimpi hancur terporak oleh pengkhianatannya. Masihkah ia berharap aku tak membencinya?
            “Tell him, I don’t need his love again, not at all.”
            “Why, are you married?” Dia mengejarku lagi dengan pertanyaan itu. Sepertinya dia masih penasaran dengan statusku.
            Aku tak tahu apa tujuan pertanyaannya. Apakah sekedar ingin tahu, ataukah ini demi mengusir rasa bersalahnya telah meninggalkanku. Rasanya aku belum ingin menjawab.  Tuhan, ampuni aku jika aku ingin mempermainkannya sejenak dengan rasa penasarannya.
            “I think, it’s not your business.”
            “I need to know..” Ucapnya ngotot.
            “You want to know because you feel guilty right?”
            “Don’t worry. I have some one now.”  Aku terpaksa membohonginya.
            “You love him?”
            “He loves me, it’s enough.”
            “How is your feeling to him?”
            “I love him too.” Ucapku akhirnya.
            “How much you love him?”
            “As much as he loves me.”  
Aku mulai jengkel dengan pertanyaannya. Heran, untuk apa dia mengorek – ngorek perasaanku. Apakah dia ingin aku menjawab kalau hanya dia yang kucinta? Tidak percayakah dia kalau aku juga bisa mencintai orang lain ?
“I Hope you will not bother me again. Even as my friend I don’t want.”
Tuhan, aku  berharap engkau membawanya pergi dari hidupku. Roel, bukan orang yang mudah menyerah. Dia ingin kembali di hidupku sebagai sahabat. Seperti yang pernah ia katakan padaku sebelum akhirnya kami benar – benar kehilangan kontak beberapa tahun yang lalu.
Bagaimana aku bisa menerimanya sebagai sahabat jika perasaan itu masih ada. Lagipula, seseorang yang kukatakan padanya hanyalah ucapanku saja agar ia berpikir begitu. Hingga kini pun, aku masih belum bisa membiarkan diriku mencintai siapapun.
Tuhan, kau sendiri tahu bagaimana sakit yang kurasa ketika ia mengatakan padaku kalau ada seseorang di hatinya selain aku tepat di hari jadi kami yang ketiga. Betapa aku terluka ketika ia memintaku mengizinkannya menikah dengan Ivy. Bapa, apa yang bisa kulakukan . Melarangnya? Apakah aku sanggup mengalahkan pesona Ivy yang ada di sisinya sementara aku begitu jauh.
Aku bertanya, ke manakah nurani dan hatinya berada ketika ia bercerita Ivy tengah mengandung anaknya. Tidak tahukah ia kalau aku bakal terluka. Tidak cukupkah ia menyakitiku dengan pengkhianatan, pernikahan dan semua kebahagiaan yang ia rasa di atas lukaku?
Saat ini, aku benar – benar ingin ia pergi dari hidupku. Tidak ada untungnya dia ada di hidupku. Aku memang rindu dia, tapi bukan berarti aku senang dia kembali ada di hidupku. Biarlah kami melangkah di jalan kami masing – masing.
Tuhan, meski benar dia masih mencintaiku ubahlah cinta itu dan berikanlah pada istrinya. Sebab aku tahu, Ivylah yang paling layak menerima cintanya. Kau tahu Tuhan, Roel orang yang egois, dia selalu melihat kekurangan istrinya dan mengeluh. Ajarkan dia membuka mata dan hatinya, untuk melihat sisi lain Ivy. Walau wanita itu telah merebutnya dariku, aku tak ingin Roel menyia-nyiakannya.  Bagaimana pun Ivy adalah ibu anaknya. Biarlah cinta tumbuh di antara mereka.
Untukku, aku yakin akan ada seseorang yang Kau ciptakan bagiku. Aku akan sabar menunggu hingga waktunya tiba. Sampai saat itu aku akan sabar menunggu. Karena aku tahu, segala sesuatu akan indah pada waktunya.

Apakah aku terlalu egois, bila aku tak ingin dia ada lagi di hidupku, meski pun hanya sebagai sahabat seperti waktu dulu. Apakah aku terlalu egois jika tak ingin mendengar apa pun tentangnya, padahal dulu ia adalah pendengarku.
            Tuhan, aku hanya tidak bisa mengingkari kalau perasaan itu masih ada untuknya. Aku hanya takut bila dia ada, maka asa itu akan terus tumbuh dan aku tak dapat mengendalikannya. Dia bisa kembali menganggapku sahabat, tapi aku tidak.
            Aku tak mengerti mengapa dia harus mengganggu hidupku lagi, mengaku bernama John Brake di Face Book, tanpa info lengkap apalagi foto. Ia mengajakku ngobrol. Berusaha mengorek keadaanku saat ini. Bertanya padaku apakah aku sudah menikah ataukah masih sendiri.
            Kau tahu Tuhan, meski pun dia sempat berbohong dan menutupi jati dirinya. Nyatanya aku bisa menebak kalau dia adalah orang yang pernah kau tempatkan di sisiku. Tentu saja, aku tahu gaya bahasa dan caranya bicara. Aku tahu semua tentangnya, sebab dia ada di hidupku tiga belas tahun lamanya. Dia mengaku orang Malaysia. Orang Malaysia yang bekerja di luar negeri selama tiga tahun. Saat aku memintanya berbahasa melayu, dia menjawab kalau dia sudah lupa dengan bahasa negaranya. Tuhan, kenapa si bodoh itu bisa membuat alasan yang membuatku tertawa dan langsung menebak kalau memang itu dirinya.
            Dia tetap mengelak saat aku menyebut namanya ROEL MILLARE ABARDO, namun akhirnya berkata,” If I am him, what will you do?”
            “Even in this world no more men except him, I will not let him in my life again.”
            Kuharap ia mengerti dengan pernyataanku. “You hate him so much?”
            Apakah aku harus menjawab pertanyaan itu ? Apakah dia ingin menguji perasaanku padanya? Apakah aku bisa membencinya, bila cinta yang kupunya mengalahkan rasa sakit yang pernah ia torehkan di hatiku.
            “Tell Roel, i already forgive him.” Ucapku padanya.
            “Are you married?” Pertanyaan yang sama yang ia lontarkan beberapa kali sebelumnya. Pertanyaan yang sengaja tak ingin kujawab.
            “Why do you want to know about it so much?”
            “I just want to know  you are happy or not.” Ucapnya.
            “Why, feel guilty for leaving me?”
            “Long distance relationship sometimes works, but sometimes not. It’s destiny.” Pembelaan diri yang baik. Tapi bukan takdir yang menentukan cinta jarak jauh berhasil atau tidak. Keberanian, hanya keberanian yang bisa menentukan keberhasikan cinta jarak jauh. Apakah kau berani menempuh jutaan mil untuk meraih cintamu. Apakah kau berani menerima resiko untuk kehilangan apa yang kau miliki demi cintamu. Apakah kau cukup berani untuk tidak melihat sekelilingmu yang mungkin lebih baik dari dirinya, dan berkomitmen untuk tetap menjaga perasaanmu demi dia yang jauh. Nyatanya lelaki  yang pernah kukenal tiga belas tahun ini tidak cukup punya keberanian.Dia bahkan belum pernah mencoba untuk menemuiku, bagaimana mungkin dia tahu kalau cinta jarak jauh kami tak akan berhasil. Dia seorang pengecut.
            “Tell Roel, thanks for the reason. Now I know how coward man  I saw in him.”
            “How if you are the only he loves.”  Jika dia orang lain dan  bukan Roel, untuk apa dia mengatakan hal ini . Apa urusannya dengan perasaan Roel padaku. Dasar, bahkan untuk mengakui dirinya pun dia tak berani. Tak heran dia tak punya keberanian untuk mengambil resiko demi cinta kami.
            Tuhan, haruskah aku tersentuh dengan kata – katanya? Sesungguhnya, getar itu masih ada namun berganti dengan rasa sakit yang luar biasa. Jika memang aku yang dia cinta, lalu mengapa harus Ivy yang ia pilih untuk ada di sisinya. Jika memang aku yang ia cinta mengapa harus Ivy yang memberi anak untuknya.
            Aku  tak mengerti mengapa ia katakan jika hanya aku yang ia cinta. Masih inginkah ia membangunkan istana di langit untukku. Setelah istana yang dulu ia bangun di atas mimpi hancur terporak oleh pengkhianatannya. Masihkah ia berharap aku tak membencinya?
            “Tell him, I don’t need his love again, not at all.”
            “Why, are you married?” Dia mengejarku lagi dengan pertanyaan itu. Sepertinya dia masih penasaran dengan statusku.
            Aku tak tahu apa tujuan pertanyaannya. Apakah sekedar ingin tahu, ataukah ini demi mengusir rasa bersalahnya telah meninggalkanku. Rasanya aku belum ingin menjawab.  Tuhan, ampuni aku jika aku ingin mempermainkannya sejenak dengan rasa penasarannya.
            “I think, it’s not your business.”
            “I need to know..” Ucapnya ngotot.
            “You want to know because you feel guilty right?”
            “Don’t worry. I have some one now.”  Aku terpaksa membohonginya.
            “You love him?”
            “He loves me, it’s enough.”
            “How is your feeling to him?”
            “I love him too.” Ucapku akhirnya.
            “How much you love him?”
            “As much as he loves me.”  
Aku mulai jengkel dengan pertanyaannya. Heran, untuk apa dia mengorek – ngorek perasaanku. Apakah dia ingin aku menjawab kalau hanya dia yang kucinta? Tidak percayakah dia kalau aku juga bisa mencintai orang lain ?
“I Hope you will not bother me again. Even as my friend I don’t want.”
Tuhan, aku  berharap engkau membawanya pergi dari hidupku. Roel, bukan orang yang mudah menyerah. Dia ingin kembali di hidupku sebagai sahabat. Seperti yang pernah ia katakan padaku sebelum akhirnya kami benar – benar kehilangan kontak beberapa tahun yang lalu.
Bagaimana aku bisa menerimanya sebagai sahabat jika perasaan itu masih ada. Lagipula, seseorang yang kukatakan padanya hanyalah ucapanku saja agar ia berpikir begitu. Hingga kini pun, aku masih belum bisa membiarkan diriku mencintai siapapun.
Tuhan, kau sendiri tahu bagaimana sakit yang kurasa ketika ia mengatakan padaku kalau ada seseorang di hatinya selain aku tepat di hari jadi kami yang ketiga. Betapa aku terluka ketika ia memintaku mengizinkannya menikah dengan Ivy. Bapa, apa yang bisa kulakukan . Melarangnya? Apakah aku sanggup mengalahkan pesona Ivy yang ada di sisinya sementara aku begitu jauh.
Aku bertanya, ke manakah nurani dan hatinya berada ketika ia bercerita Ivy tengah mengandung anaknya. Tidak tahukah ia kalau aku bakal terluka. Tidak cukupkah ia menyakitiku dengan pengkhianatan, pernikahan dan semua kebahagiaan yang ia rasa di atas lukaku?
Saat ini, aku benar – benar ingin ia pergi dari hidupku. Tidak ada untungnya dia ada di hidupku. Aku memang rindu dia, tapi bukan berarti aku senang dia kembali ada di hidupku. Biarlah kami melangkah di jalan kami masing – masing.
Tuhan, meski benar dia masih mencintaiku ubahlah cinta itu dan berikanlah pada istrinya. Sebab aku tahu, Ivylah yang paling layak menerima cintanya. Kau tahu Tuhan, Roel orang yang egois, dia selalu melihat kekurangan istrinya dan mengeluh. Ajarkan dia membuka mata dan hatinya, untuk melihat sisi lain Ivy. Walau wanita itu telah merebutnya dariku, aku tak ingin Roel menyia-nyiakannya.  Bagaimana pun Ivy adalah ibu anaknya. Biarlah cinta tumbuh di antara mereka.
Untukku, aku yakin akan ada seseorang yang Kau ciptakan bagiku. Aku akan sabar menunggu hingga waktunya tiba. Sampai saat itu aku akan sabar menunggu. Karena aku tahu, segala sesuatu akan indah pada waktunya.
              Apakah aku terlalu egois, bila aku tak ingin dia ada lagi di hidupku, meski pun hanya sebagai sahabat seperti waktu dulu. Apakah aku terlalu egois jika tak ingin mendengar apa pun tentangnya, padahal dulu ia adalah pendengarku.
            Tuhan, aku hanya tidak bisa mengingkari kalau perasaan itu masih ada untuknya. Aku hanya takut bila dia ada, maka asa itu akan terus tumbuh dan aku tak dapat mengendalikannya. Dia bisa kembali menganggapku sahabat, tapi aku tidak.
            Aku tak mengerti mengapa dia harus mengganggu hidupku lagi, mengaku bernama John Brake di Face Book, tanpa info lengkap apalagi foto. Ia mengajakku ngobrol. Berusaha mengorek keadaanku saat ini. Bertanya padaku apakah aku sudah menikah ataukah masih sendiri.
            Kau tahu Tuhan, meski pun dia sempat berbohong dan menutupi jati dirinya. Nyatanya aku bisa menebak kalau dia adalah orang yang pernah kau tempatkan di sisiku. Tentu saja, aku tahu gaya bahasa dan caranya bicara. Aku tahu semua tentangnya, sebab dia ada di hidupku tiga belas tahun lamanya. Dia mengaku orang Malaysia. Orang Malaysia yang bekerja di luar negeri selama tiga tahun. Saat aku memintanya berbahasa melayu, dia menjawab kalau dia sudah lupa dengan bahasa negaranya. Tuhan, kenapa si bodoh itu bisa membuat alasan yang membuatku tertawa dan langsung menebak kalau memang itu dirinya.
            Dia tetap mengelak saat aku menyebut namanya ROEL MILLARE ABARDO, namun akhirnya berkata,” If I am him, what will you do?”
            “Even in this world no more men except him, I will not let him in my life again.”
            Kuharap ia mengerti dengan pernyataanku. “You hate him so much?”
            Apakah aku harus menjawab pertanyaan itu ? Apakah dia ingin menguji perasaanku padanya? Apakah aku bisa membencinya, bila cinta yang kupunya mengalahkan rasa sakit yang pernah ia torehkan di hatiku.
            “Tell Roel, i already forgive him.” Ucapku padanya.
            “Are you married?” Pertanyaan yang sama yang ia lontarkan beberapa kali sebelumnya. Pertanyaan yang sengaja tak ingin kujawab.
            “Why do you want to know about it so much?”
            “I just want to know  you are happy or not.” Ucapnya.
            “Why, feel guilty for leaving me?”
            “Long distance relationship sometimes works, but sometimes not. It’s destiny.” Pembelaan diri yang baik. Tapi bukan takdir yang menentukan cinta jarak jauh berhasil atau tidak. Keberanian, hanya keberanian yang bisa menentukan keberhasikan cinta jarak jauh. Apakah kau berani menempuh jutaan mil untuk meraih cintamu. Apakah kau berani menerima resiko untuk kehilangan apa yang kau miliki demi cintamu. Apakah kau cukup berani untuk tidak melihat sekelilingmu yang mungkin lebih baik dari dirinya, dan berkomitmen untuk tetap menjaga perasaanmu demi dia yang jauh. Nyatanya lelaki  yang pernah kukenal tiga belas tahun ini tidak cukup punya keberanian.Dia bahkan belum pernah mencoba untuk menemuiku, bagaimana mungkin dia tahu kalau cinta jarak jauh kami tak akan berhasil. Dia seorang pengecut.
            “Tell Roel, thanks for the reason. Now I know how coward man  I saw in him.”
            “How if you are the only he loves.”  Jika dia orang lain dan  bukan Roel, untuk apa dia mengatakan hal ini . Apa urusannya dengan perasaan Roel padaku. Dasar, bahkan untuk mengakui dirinya pun dia tak berani. Tak heran dia tak punya keberanian untuk mengambil resiko demi cinta kami.
            Tuhan, haruskah aku tersentuh dengan kata – katanya? Sesungguhnya, getar itu masih ada namun berganti dengan rasa sakit yang luar biasa. Jika memang aku yang dia cinta, lalu mengapa harus Ivy yang ia pilih untuk ada di sisinya. Jika memang aku yang ia cinta mengapa harus Ivy yang memberi anak untuknya.
            Aku  tak mengerti mengapa ia katakan jika hanya aku yang ia cinta. Masih inginkah ia membangunkan istana di langit untukku. Setelah istana yang dulu ia bangun di atas mimpi hancur terporak oleh pengkhianatannya. Masihkah ia berharap aku tak membencinya?
            “Tell him, I don’t need his love again, not at all.”
            “Why, are you married?” Dia mengejarku lagi dengan pertanyaan itu. Sepertinya dia masih penasaran dengan statusku.
            Aku tak tahu apa tujuan pertanyaannya. Apakah sekedar ingin tahu, ataukah ini demi mengusir rasa bersalahnya telah meninggalkanku. Rasanya aku belum ingin menjawab.  Tuhan, ampuni aku jika aku ingin mempermainkannya sejenak dengan rasa penasarannya.
            “I think, it’s not your business.”
            “I need to know..” Ucapnya ngotot.
            “You want to know because you feel guilty right?”
            “Don’t worry. I have some one now.”  Aku terpaksa membohonginya.
            “You love him?”
            “He loves me, it’s enough.”
            “How is your feeling to him?”
            “I love him too.” Ucapku akhirnya.
            “How much you love him?”
            “As much as he loves me.”  
Aku mulai jengkel dengan pertanyaannya. Heran, untuk apa dia mengorek – ngorek perasaanku. Apakah dia ingin aku menjawab kalau hanya dia yang kucinta? Tidak percayakah dia kalau aku juga bisa mencintai orang lain ?
“I Hope you will not bother me again. Even as my friend I don’t want.”
Tuhan, aku  berharap engkau membawanya pergi dari hidupku. Roel, bukan orang yang mudah menyerah. Dia ingin kembali di hidupku sebagai sahabat. Seperti yang pernah ia katakan padaku sebelum akhirnya kami benar – benar kehilangan kontak beberapa tahun yang lalu.
Bagaimana aku bisa menerimanya sebagai sahabat jika perasaan itu masih ada. Lagipula, seseorang yang kukatakan padanya hanyalah ucapanku saja agar ia berpikir begitu. Hingga kini pun, aku masih belum bisa membiarkan diriku mencintai siapapun.
Tuhan, kau sendiri tahu bagaimana sakit yang kurasa ketika ia mengatakan padaku kalau ada seseorang di hatinya selain aku tepat di hari jadi kami yang ketiga. Betapa aku terluka ketika ia memintaku mengizinkannya menikah dengan Ivy. Bapa, apa yang bisa kulakukan . Melarangnya? Apakah aku sanggup mengalahkan pesona Ivy yang ada di sisinya sementara aku begitu jauh.
Aku bertanya, ke manakah nurani dan hatinya berada ketika ia bercerita Ivy tengah mengandung anaknya. Tidak tahukah ia kalau aku bakal terluka. Tidak cukupkah ia menyakitiku dengan pengkhianatan, pernikahan dan semua kebahagiaan yang ia rasa di atas lukaku?
Saat ini, aku benar – benar ingin ia pergi dari hidupku. Tidak ada untungnya dia ada di hidupku. Aku memang rindu dia, tapi bukan berarti aku senang dia kembali ada di hidupku. Biarlah kami melangkah di jalan kami masing – masing.
Tuhan, meski benar dia masih mencintaiku ubahlah cinta itu dan berikanlah pada istrinya. Sebab aku tahu, Ivylah yang paling layak menerima cintanya. Kau tahu Tuhan, Roel orang yang egois, dia selalu melihat kekurangan istrinya dan mengeluh. Ajarkan dia membuka mata dan hatinya, untuk melihat sisi lain Ivy. Walau wanita itu telah merebutnya dariku, aku tak ingin Roel menyia-nyiakannya.  Bagaimana pun Ivy adalah ibu anaknya. Biarlah cinta tumbuh di antara mereka.
Untukku, aku yakin akan ada seseorang yang Kau ciptakan bagiku. Aku akan sabar menunggu hingga waktunya tiba. Sampai saat itu aku akan sabar menunggu. Karena aku tahu, segala sesuatu akan indah pada waktunya.

Selasa, 31 Mei 2011

CINTA YANG TERLUKA



            Angin sepoi – sepoi menjadi teman Rini menikmati senja di balkon kamar kos-nya di lantai dua. Langit berwarna merah keemasan ditimpa cahaya mentari   serasa enggan untuk beranjak dari tempatnya. Ah, seandainya Pras juga di sini menemaniku, batin Rini memikirkan kekasihnya.
            Tiba-tiba saja dia rindu pada Pras. Padahal baru tiga hari tidak bertemu tapi rasanya sudah seperti tiga abad. Pras, lelaki yang memberi warna indah pada hari-harinya sejak tiga bulan terakhir ini telah membuatnya jatuh cinta. Rasa itu kadang membuatnya  seperti gadis remaja yang dilanda kasmaran. Inginnya dia setiap hari bertemu dan mendengar suara Pras. Hatinya berdesir ketika ia mengenang saat Pras melamarnya tiga hari yang lalu sebelum ia berangkat dinas keluar kota.
            “Maukah kau menjadi istriku?” Pertanyaan yang tiba-tiba itu hampir saja membuat Rini yang sedang menyedot soda di gelasnya tersedak.
            “Apa?” Tanyanya seperti tak percaya akan pendengarannya.
            “Aku minta kamu jadi istriku.” Pras berkata sekali lagi. Membuat Rini diam mematung. Hatinya berdebar dan rasanya ia tengah berjalan di  awan-awan.
            “Hei, kau dengar aku tidak?”
            “Ya..ya..” Rini berkata gugup. “Tapi…tapi aku harus memikirkannya. Aku, aku masih kaget.” Sahutnya terus terang.
            “Aku akan menagih jawabanmu saat aku kembali,” ucap Pras.              
            “Rin, ada yang cari kamu di bawah.” Rara, sahabat satu kamarnya mengetuk pintu. Sontak membuat Rini tersadar dari lamunannya.
            “Siapa Ra?” tanyanya sambil membuka pintu kamarnya.
            “Tidak tahu, tapi cewek sih.”
            Rini akhirnya turun setelah  berdiri sebentar di depan cermin untuk melihat penampilannya.
            Seorang wanita yang umurnya mungkin lebih tua beberapa tahun darinya tersenyum saat Rini  muncul  di teras.
            “Hai, “ sapa Rini, “ apakah Anda yang mencari saya?”
            “Ya. “ Wanita itu menjawab.”Kenalkan, saya Kirana. Istri Pras.” Suara wanita itu amat lembut. Selembut wajah dan sikapnya. Hanya saja pernyataannya barusan membuat seluruh tubuh Rini lemas. Rasanya seluruh sendi-sendinya rontok. Petir seolah menyambar di sore yang cerah. Salah dengarkan dia?
            “Maaf, membuat Dik Rini kaget.” Wanita itu berkata. Dengan senyum lembutnya dia menatap Rini yang masih shock. “Bisakah kita bicara di tempat lain?” Wanita itu mengajak Rini keluar. Rini hanya bisa mengangguk.
            Di mobil keduanya diam membisu. Kirana sesekali melirik Rini yang menatap ke luar jendela. Wanita itu mengerti bagaimana perasaan Rini saat ini. Pasti sangat kacau. Sama kacaunya saat dia melihat untuk pertama kali gadis itu dan Pras bergandengan mesra di sebuah mall. Untungnya saat itu dia sendirian. Bagaimana seandainya kalau anak-anaknya melihat papa yang mereka kagumi itu berjalan bergandengan tangan dengan gadis lain?
            Kirana membelokkan mobilnya ke sebuah café tak jauh dari tempat kos Rini. Café itu sedang sepi pengunjung.  Kirana memilih tempat di pojok ruangan agar mereka leluasa berbicara.
             Rini menatap sekilas wajah lembut wanita di depannya. Cantik dan sangat menarik dengan rambut ikal hitamnya. Wanita itu tersenyum ketika pelayan datang membawa daftar menu.
            “Dik, mau minum apa?” Suara lembut itu menegur Rini.
            “Jeruk hangat saja.” Rini berkata. Pelayan mencatat pesanan Rini dan juga Kirana.
            Setelah pelayan pergi Kirana menatap Rini. “Kau cantik. “ Ucapnya.
            ”Pantas Mas Pras tergoda.”  Wanita itu tersenyum.
            “Tapi aku tidak menggodanya.” Sahut Rini cepat. Tidak tahu mengapa dia tidak suka dengan ucapan Kirana.
            “Jangan salah paham Dik.”  Rini mengerutkan kening.
            “Saya tidak bermaksud menuduh Adik menggoda Mas Pras.” Sambung wanita itu.
            “Kadang-kadang lelaki terlalu lemah untuk menapik pesona dari seorang gadis, bukan begitu?”Sejenak kemudian wanita itu diam. Menunduk, entah memikirkan apa.
            Rini memandang wanita itu, inginnya dia menembus pikiran Kirana  agar ia tahu apa yang ada di dalam isi hatinya.
“Akhir-akhir ini Mas Pras jarang pulang cepat. Bahkan anak-anak pun sudah mulai protes. “ Akhirnya wanita itu berkata sambil menerawang.
            “Sebelumnya, saya berpikir mungkin Mas Pras sibuk dengan pekerjaan kantornya, tapi ternyata…” Ada kesedihan di balik mata indahnya. Membuat Rini merasa bersalah.
             Tidak! Seharusnya aku tidak merasa bersalah. Hati Rini berontak. Selama ini bukankah dia tidak tahu kalau Pras sudah beristri? Selama ini bukankah Pras yang gencar mendekatinya? Sejak kecelakaan kecil di café tempatnya bekerja, ketika ia secara tidak sengaja menumpahkan air ke baju Pras .
Waktu itu ada seorang anak kecil yang berlari dan menubruk dirinya yang saat itu sedang menuangkan air ke dalam gelas Pras , air itu bukannya masuk ke gelas tapi malah membasahi tubuh lelaki itu.         Sejak itulah kedekatan mereka. Semua berjalan tanpa disengaja. Ketidaksengajaan yang mendatangkan warna-warni di hidupnya.
            “Saya tidak tahu harus berkata apa lagi saat anak-anak bertanya mengapa papa mereka selalu telat pulang. Mas Pras juga sudah berubah. Jadwal setiap hari Minggu yang dipakai untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak pun kini tidak ada lagi. Sampai akhirnya saya melihat Dik Rini dan Mas Pras di sebuah Mall beberapa hari yang lalu.”
            “Waktu itu saya memilih diam dan mengikuti kalian sampai ke tempat kos Dik Rini. Saya juga mencari tahu tentang Dik Rini dan hubungan Adik dengan Mas Pras. Maaf, kalau saya tidak sopan.” Kirana berkata.
            “Saya rasa lebih baik saya mencari kejelasan sebelum bertindak bukan? Lagipula mungkin hal ini terjadi karena salah saya juga. ”
            Ampun, tegarnya wanita ini. Rini tak habis pikir. Mengapa bukan dia yang disalahkan. Dia yang jelas-jelas telah merebut Pras, suami sekaligus ayah dari anak-anaknya, meski jelas itu bukan keinginannya. Rini tak berani membayangkan kalau seandainya istri Pras bukan Kirana, dia pasti sudah disembur dengan kata makian yang memanaskan kuping. Umpatan kotor pasti akan mampir untuknya. Belum lagi  tindakan brutal  yang mungkin akan diterimanya seperti serangan yang diterima Ratna. Istri muda seorang pengusaha yang dicari oleh istri tua pengusaha itu yang tinggal tak jauh dari tempat kos-nya. Rini bergidik membayangkan hal itu.
            “Dik Rini, maukah Dik Rini berkorban? Saya tahu, pasti susah untuk melupakan seseorang yang terlanjur hadir di hidup kita. Hanya saja, saya mohon Dik Rini mengerti.”
Berkorban? Itu artinya dia harus melupakan Pras. Bisakah? Padahal baru saja Pras memberinya mimpi-mimpi yang membawanya ke langit ke tujuh. Sekarang, apakah dia harus membiarkan dirinya terhempas?
            Tiga hari saja tanpa Pras telah membuat hari-harinya terasa kosong. Bagaimana mungkin dia harus melupakan Pras. Tidak! Aku terlanjur mencintainya.
            “Aku bisa saja hidup tanpa Mas Pras. Apalagi mengingat pengkhianatannya. Hanya saja aku tak mau anak-anakku menangis dan kehilangan kasih sayang ayahnya.” Kirana berkata lagi. Seolah dia mengerti apa yang dipikirkan Rini.
            “Mas Pras adalah panutan mereka. Ayah yang idolakan dan dibanggakan. Jika  tahu ayahnya selingkuh dan mengkhianati kepercayaan mereka, bukankah itu sama saja membunuh mereka?”
            Ucapan Kirana seakan membawa Rini ke masa lalu. Saat itu dia baru duduk di bangku tiga SMP. Suatu siang ketika Rini dan kawan-kawannya merayakan kelulusan mereka di salah satu mall, dia melihat ayahnya sedang bergandengan dengan wanita lain. Sementara tangannya yang lain memegang kantong belanjaan yang lumayan banyak.
            Saat itu senyum dan kebahagiaan dalam sekejap hilang dari dirinya. Ice cream coklat yang ada dimulutnya terasa pahit. Hatinya hancur, air mata menggenang di pelupuk matanya. Teman-temannya heran, saat melihat keceriaannya tiba-tiba lenyap. Untung mereka tidak sempat melihat papanya  berjalan dengan wanita lain. Sejak saat itu rasa sayang dan cintanya kepada papa hilang. Lenyap bagai embun di pagi hari takala matahari mulai menyinari. Dia benci, benci sekali terhadap lelaki itu. Juga wanita yang telah merebut papa dari dia dan adik-adiknya.       Celakanya, kini dia yang menjadi biang permasalahan dalam rumah tangga Pras. Karma-kah ini?
            “Dik Rini,” tegur Kirana ketika dilihatnya Rini diam.
            “Saya tidak memaksa. Sengaja  saya menemui Dik Rini saat Mas Pras keluar kota. Agar Dik Rini juga bisa berpikir jernih. Dik Rini masih muda. Masih banyak kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan. “
            Rini memandang wajah Kirana. Dalam kelembutan tatapannya, Rini bisa melihat harap yang terpancar. Bukan untuk dirinya, tapi untuk anak-anaknya. Wanita itu begitu tegar, begitu lembut, juga berhati mulia. Sama sekali dia tidak menyalahkan Rini atau pun Pras. Ia hanya menyalahkan dirinya sendiri.
            “Baiklah, Mbak. “Akhirnya Rini berkata. Ada kelegaan yang terpancar di wajah Kirana.            Meski Rini sendiri merasakan luka menganga di hatinya
****
Rini memandang mobil yang membawa Kirana meninggalkan tempat kos-nya. Wanita itu mengucapkan terima kasih padanya karena tidak membiarkan anak-anaknya membenci Pras. Rini pun berterima kasih , wanita itu tidak menaruh marah atau pun dendam karena sempat mencuri perhatian suaminya.
            Rini membuang nafas sejenak. Tiba-tiba  dia merasa dadanya terasa sesak. Mulai saat ini dia harus membuang bayangan Pras dari hidupnya. Pras, akankah lelaki itu mencarinya lagi jika tahu Kirana sudah mencium perselingkuhannya? Lamaran itu, apakah sebatas di bibir saja?
            Rini tak lagi peduli. Memang sebaiknya dia tidak lagi peduli, meski akan terasa sakit tapi itu lebih baik. Daripada dia terluka saat rasa itu kian dalam dan dia tak dapat lagi keluar dari perangkap cinta Pras. Dia juga tak ingin anak-anak Pras merasakan luka yang pernah ia rasakan saat melihat papanya bersama wanita lain.
            Pras, semoga kamu bisa belajar untuk setia, bisik hati Rini.


Rabu, 11 Mei 2011

OTO-San


Karya : Helmy Fenisia
            Senja mulai memerah, mentari pun bergegas kembali ke peraduannya. Di kejauhan, di tengah laut kapal-kapal mulai menjelma bayangan. Begitu pun, Chikara masih enggan beranjak dari tempatnya. Di tepi dermaga, dia berdiri memandang kejauhan. Laut, selalu membuatnya betah berlama-lama berdiri di tepi dermaga.
            “Hai, sendirian?”sapaan seorang lelaki membuat gadis itu berpaling dari keasyikannya memandang laut.
            “Papa?” Mata Chikara melebar tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu tersenyum. Meraih tubuh Chikara dan memeluknya. Gadis itu tak mampu menyembunyikan rasa haru dan senangnya. Tuhan, apakah ini hanya mimpi? Ucap gadis itu dalam hati.
            Sudah dua puluh tahun papa berpisah dengan Chikara dan mama. Kembali ke negaranya, negeri matahari terbit.  Perpisahan itu bukan disebabkan orang ketiga, tapi karena papa harus kembali ke Jepang setelah tugasnya di Indonesia selesai. Papa mengajak mama, namun mama tidak tega meninggalkan orang tua dan saudara-saudaranya di Indonesia.. Akhirnya tanpa mama dan Chikara kecil, papa kembali ke Jepang.
            Sebagai pria, tidak mungkin selamanya papa bisa hidup sendiri. Papa butuh seorang pendamping. Tiga tahun kemudian papa minta izin pada mama untuk menikah lagi. Mama mengizinkan dan meminta maaf karena tidak bisa menjadi istri yang baik bagi papa. Mama juga mengerti jika seandainya nanti papa memutuskan untuk tidak mengirimkan uang belanja lagi untuk kebutuhan mereka. Pastinya papa akan repot dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dua keluarga. Pekerjaan mama sebagai pegawai bank, sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan Chikara.
            “Apa kamu baik-baik saja selama ini?” tanya papa sambil memandang Chikara.
            “Ya, hanya saja aku merindukan papa.” Chikara berkata sambil memandang papanya.
 “Ya, papa juga merindukanmu. Maaf papa kalau terpaksa meninggalkanmu.” Papa memeluknya.
            “Aku mengerti mengapa papa melakukannya.”
            “Apa kau menyalahkan kami?” Chikara menggeleng.
            “Tidak, tidak pernah sekalipun. Chikara mengerti mengapa mama tidak bisa ikut dengan papa. Juga mengapa papa meninggalkan Chikara, walau Chikara tidak mengerti mengapa selama ini papa hilang tak berkabar.”
            “Chikara, sekali lagi papa minta maaf padamu. Sejujurnya, kami orang tua yang tidak bertanggung jawab. Tidak bisa memberimu kebahagiaan seperti anak – anak pada umumnya.” Papa mengelus rambut Chikara.
            “Sekarang, asal papa ada untukku itu sudah cukup.” Gadis itu memandang papanya riang.
            Lelaki itu membuang pandangannya ke laut. Inginnya dia merengkuh putrinya. Membawa serta dalam langkah kakinya kembali ke Tokyo, namun itu tak mungkin. Haruka, istrinya tidak ingin Chikara ada di antara mereka. Lagipula apa kata anak-anak mereka jika tahu papanya ternyata telah memiliki putri di negara lain.
            Papa memandang Chikara. Haruskah ia mengusir bahagia di raut wajah gadis itu? Tuan Kanzaki menarik nafas panjang.
            “Chikara, satu hal yang ingin papa katakan padamu. Kalau papa sangat mencintaimu, papa tahu betapa kamu menyimpan rindu itu.” Lelaki itu berkata lirih.
“Hanya saja papa ingin kamu mengerti satu hal, kalau papa di Jepang telah memiliki keluarga lain. Mungkin ini akan terdengar kejam, tapi…” Lelaki itu tak sanggup menyambung kalimatnya. Hatinya terasa sakit. Sudah sekian lama dia menghilang, kini ketika ia muncul, ia hanya menoreh luka di hati putrinya.
“Papa, Papa harap kamu bisa melupakan semua dan menganggap papa tak pernah ada dalam hidupmu.”
Bias bahagia itu sontak menghilang. Berganti dengan linangan air mata, meski senja sudah pergi, cahaya bulan yang temaram memantulkan bening di pipi mulus gadis itu.
“Hanya untuk inikah papa datang padaku?” Ucap Chikara terbata.
Air mata tak mampu ia bendung. Ia  berharap laut pasang dan ombak menyapu dirinya.
“Maafkan papa Chikara.” Tuan Kanzaki memeluk Chikara, namun gadis itu menepisnya.
“Aku harus pergi sekarang.” Chikara berlari meninggalkan papanya. Air mata tak mau berhenti . Gadis itu menangis tersedu-sedu.
“Chikara…Bangun Nak,” tubuh gadis itu diguncang mamanya. Wanita itu khawatir karena Chikara menangis dalam tidurnya.
“Chika, bangun Nak.” Sekali lagi mama mengguncang badannya.
Gadis itu tersentak dari mimpinya.
“Ma…” Chikara memeluk mamanya erat.
“Ada apa Nak, mengapa sepertinya kamu menangis tersedu dalam tidurmu?”
“Aku…”Air mata mengalir di pipi gadis itu.
 Mimpi itu begitu nyata. Seolah ia berada di mana papa juga ada bersamanya.
“Ada apa Chika? Kamu mimpi apa?” Mama bertanya khawatir. Gadis itu menggeleng.
“Tidak Ma, tidak apa-apa.”
“Benar?” mama menatap penuh selidik.
“Ya. Chikara baik-baik saja Ma.”
Akhirnya mama keluar dari kamar.
Gadis itu membuang pandang ke luar jendela. Mama tidak boleh tahu apa yang ada dalam mimpinya tadi. Kalau tahu, mama pasti akan merasa bersalah.
Sudah dua puluh tahun Chikara berpisah dengan papa, tapi hanya dua kali dia bermimpi lelaki itu. Beberapa waktu yang lalu, Chikara bermimpi bertemu dengan papa di toko mainan. Papa masuk ke toko mainan di mana Chikara bekerja sebagai penjaga toko. Waktu itu papa tidak mengenalinya. Chikara melayani papa sebagai pembeli yang mencari mainan untuk anaknya. Hati Chikara sedih sekali melihat ekspresi papa yang senang ketika mendapatkan mainan yang pas untuk anaknya. Chikara berharap papa mengenalnya, tapi papa hanya mengucapkan terima kasih padanya lalu pergi meninggalkan toko itu.
Ketika Chikara bangun dari mimpinya dia sangat sedih, namun bersyukur karena selama dua puluh tahun berharap untuk bertemu papa akhirnya kesampaian juga meski hanya dalam mimpi.
Pernah Chikara bertanya pada mama tentang papa, tapi wanita itu tak banyak bicara. Mama hanya mengatakan kalau papa lelaki yang sangat baik dan bertanggung jawab. Mengapa papa hilang tak berkabar? Mama pun tidak tahu. Mungkin karena kini papa sudah mempunyai keluarga yang lain.
Keluarga lain? Ya, istri dan anak-anak papa yang ada di Jepang. Ibu dan saudara tirinya. Betapa menyenangkan bisa ada bersama papa. Pernahkah papa ingat dirinya? Ataukah papa telah membuang kenangan tentang Indonesia?
Perpisahan dengan mama bukan suatu hal yang menyenangkan. Bisa saja sebenarnya papa kecewa dan sakit hati, sehingga papa melupakan mereka.
“Papa…aku rindu.” Chikara sadar dia bukan lagi anak kecil atau anak remaja yang pantas merengek, tapi dia seorang anak. Merindukan papa, merindukan kasih sayang yang memang pantas menjadi miliknya.
Jika sudah begini, siapakah yang harus dia salahkan? Mamakah? Atau papa yang melupakannya begitu saja. Tidak, Chikara menggeleng. Tidak ada seorang pun yang harus disalahkan. Mereka hanya korban. Takdir sudah menuliskan beginilah jalan hidup yang harus dilaluinya.
Bagaimana pun dia harus bersyukur, memiliki mama yang mengasihinya lebih dari kasih sayang seorang ibu. Mama juga menjadi papa baginya. Melindungi dan memenuhi segala kebutuhannya, walau dia akui mama tidak  bisa menggantikan posisi papa dalam hatinya.
“Tuhan, haruskah aku melupakan papa dan menganggapnya tak pernah ada dalam hidupku?” jerit suara hati gadis itu.
Betapa selama ini dia rindu lelaki itu. Bertahun tak putus-putusnya dia berdoa agar Tuhan mempertemukan dirinya dengan papa, tapi hanya kekecewaan yang dia dapatkan.
“Jangan pernah berhenti berdoa.” Chikara teringat ucapan guru sekolah Minggu-nya yang dulu pernah mengajarnya.
“Bertekunlah dalam doa dan yakinlah kalau Ia akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya.”
Kapankah? Hatinya bertanya lirih. Sampai kapankah ia harus berdoa dan menunggu?
Oto-san*…adakah kau ingat aku?  Kembali hatinya bertanya lirih.
Tuhan, aku menunggu dan terus menunggu hingga segala sesuatu indah pada waktunya….Chikara berkata lalu kembali terlelap.

Oto-san = papa