Rabu, 11 Mei 2011

OTO-San


Karya : Helmy Fenisia
            Senja mulai memerah, mentari pun bergegas kembali ke peraduannya. Di kejauhan, di tengah laut kapal-kapal mulai menjelma bayangan. Begitu pun, Chikara masih enggan beranjak dari tempatnya. Di tepi dermaga, dia berdiri memandang kejauhan. Laut, selalu membuatnya betah berlama-lama berdiri di tepi dermaga.
            “Hai, sendirian?”sapaan seorang lelaki membuat gadis itu berpaling dari keasyikannya memandang laut.
            “Papa?” Mata Chikara melebar tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu tersenyum. Meraih tubuh Chikara dan memeluknya. Gadis itu tak mampu menyembunyikan rasa haru dan senangnya. Tuhan, apakah ini hanya mimpi? Ucap gadis itu dalam hati.
            Sudah dua puluh tahun papa berpisah dengan Chikara dan mama. Kembali ke negaranya, negeri matahari terbit.  Perpisahan itu bukan disebabkan orang ketiga, tapi karena papa harus kembali ke Jepang setelah tugasnya di Indonesia selesai. Papa mengajak mama, namun mama tidak tega meninggalkan orang tua dan saudara-saudaranya di Indonesia.. Akhirnya tanpa mama dan Chikara kecil, papa kembali ke Jepang.
            Sebagai pria, tidak mungkin selamanya papa bisa hidup sendiri. Papa butuh seorang pendamping. Tiga tahun kemudian papa minta izin pada mama untuk menikah lagi. Mama mengizinkan dan meminta maaf karena tidak bisa menjadi istri yang baik bagi papa. Mama juga mengerti jika seandainya nanti papa memutuskan untuk tidak mengirimkan uang belanja lagi untuk kebutuhan mereka. Pastinya papa akan repot dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dua keluarga. Pekerjaan mama sebagai pegawai bank, sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan Chikara.
            “Apa kamu baik-baik saja selama ini?” tanya papa sambil memandang Chikara.
            “Ya, hanya saja aku merindukan papa.” Chikara berkata sambil memandang papanya.
 “Ya, papa juga merindukanmu. Maaf papa kalau terpaksa meninggalkanmu.” Papa memeluknya.
            “Aku mengerti mengapa papa melakukannya.”
            “Apa kau menyalahkan kami?” Chikara menggeleng.
            “Tidak, tidak pernah sekalipun. Chikara mengerti mengapa mama tidak bisa ikut dengan papa. Juga mengapa papa meninggalkan Chikara, walau Chikara tidak mengerti mengapa selama ini papa hilang tak berkabar.”
            “Chikara, sekali lagi papa minta maaf padamu. Sejujurnya, kami orang tua yang tidak bertanggung jawab. Tidak bisa memberimu kebahagiaan seperti anak – anak pada umumnya.” Papa mengelus rambut Chikara.
            “Sekarang, asal papa ada untukku itu sudah cukup.” Gadis itu memandang papanya riang.
            Lelaki itu membuang pandangannya ke laut. Inginnya dia merengkuh putrinya. Membawa serta dalam langkah kakinya kembali ke Tokyo, namun itu tak mungkin. Haruka, istrinya tidak ingin Chikara ada di antara mereka. Lagipula apa kata anak-anak mereka jika tahu papanya ternyata telah memiliki putri di negara lain.
            Papa memandang Chikara. Haruskah ia mengusir bahagia di raut wajah gadis itu? Tuan Kanzaki menarik nafas panjang.
            “Chikara, satu hal yang ingin papa katakan padamu. Kalau papa sangat mencintaimu, papa tahu betapa kamu menyimpan rindu itu.” Lelaki itu berkata lirih.
“Hanya saja papa ingin kamu mengerti satu hal, kalau papa di Jepang telah memiliki keluarga lain. Mungkin ini akan terdengar kejam, tapi…” Lelaki itu tak sanggup menyambung kalimatnya. Hatinya terasa sakit. Sudah sekian lama dia menghilang, kini ketika ia muncul, ia hanya menoreh luka di hati putrinya.
“Papa, Papa harap kamu bisa melupakan semua dan menganggap papa tak pernah ada dalam hidupmu.”
Bias bahagia itu sontak menghilang. Berganti dengan linangan air mata, meski senja sudah pergi, cahaya bulan yang temaram memantulkan bening di pipi mulus gadis itu.
“Hanya untuk inikah papa datang padaku?” Ucap Chikara terbata.
Air mata tak mampu ia bendung. Ia  berharap laut pasang dan ombak menyapu dirinya.
“Maafkan papa Chikara.” Tuan Kanzaki memeluk Chikara, namun gadis itu menepisnya.
“Aku harus pergi sekarang.” Chikara berlari meninggalkan papanya. Air mata tak mau berhenti . Gadis itu menangis tersedu-sedu.
“Chikara…Bangun Nak,” tubuh gadis itu diguncang mamanya. Wanita itu khawatir karena Chikara menangis dalam tidurnya.
“Chika, bangun Nak.” Sekali lagi mama mengguncang badannya.
Gadis itu tersentak dari mimpinya.
“Ma…” Chikara memeluk mamanya erat.
“Ada apa Nak, mengapa sepertinya kamu menangis tersedu dalam tidurmu?”
“Aku…”Air mata mengalir di pipi gadis itu.
 Mimpi itu begitu nyata. Seolah ia berada di mana papa juga ada bersamanya.
“Ada apa Chika? Kamu mimpi apa?” Mama bertanya khawatir. Gadis itu menggeleng.
“Tidak Ma, tidak apa-apa.”
“Benar?” mama menatap penuh selidik.
“Ya. Chikara baik-baik saja Ma.”
Akhirnya mama keluar dari kamar.
Gadis itu membuang pandang ke luar jendela. Mama tidak boleh tahu apa yang ada dalam mimpinya tadi. Kalau tahu, mama pasti akan merasa bersalah.
Sudah dua puluh tahun Chikara berpisah dengan papa, tapi hanya dua kali dia bermimpi lelaki itu. Beberapa waktu yang lalu, Chikara bermimpi bertemu dengan papa di toko mainan. Papa masuk ke toko mainan di mana Chikara bekerja sebagai penjaga toko. Waktu itu papa tidak mengenalinya. Chikara melayani papa sebagai pembeli yang mencari mainan untuk anaknya. Hati Chikara sedih sekali melihat ekspresi papa yang senang ketika mendapatkan mainan yang pas untuk anaknya. Chikara berharap papa mengenalnya, tapi papa hanya mengucapkan terima kasih padanya lalu pergi meninggalkan toko itu.
Ketika Chikara bangun dari mimpinya dia sangat sedih, namun bersyukur karena selama dua puluh tahun berharap untuk bertemu papa akhirnya kesampaian juga meski hanya dalam mimpi.
Pernah Chikara bertanya pada mama tentang papa, tapi wanita itu tak banyak bicara. Mama hanya mengatakan kalau papa lelaki yang sangat baik dan bertanggung jawab. Mengapa papa hilang tak berkabar? Mama pun tidak tahu. Mungkin karena kini papa sudah mempunyai keluarga yang lain.
Keluarga lain? Ya, istri dan anak-anak papa yang ada di Jepang. Ibu dan saudara tirinya. Betapa menyenangkan bisa ada bersama papa. Pernahkah papa ingat dirinya? Ataukah papa telah membuang kenangan tentang Indonesia?
Perpisahan dengan mama bukan suatu hal yang menyenangkan. Bisa saja sebenarnya papa kecewa dan sakit hati, sehingga papa melupakan mereka.
“Papa…aku rindu.” Chikara sadar dia bukan lagi anak kecil atau anak remaja yang pantas merengek, tapi dia seorang anak. Merindukan papa, merindukan kasih sayang yang memang pantas menjadi miliknya.
Jika sudah begini, siapakah yang harus dia salahkan? Mamakah? Atau papa yang melupakannya begitu saja. Tidak, Chikara menggeleng. Tidak ada seorang pun yang harus disalahkan. Mereka hanya korban. Takdir sudah menuliskan beginilah jalan hidup yang harus dilaluinya.
Bagaimana pun dia harus bersyukur, memiliki mama yang mengasihinya lebih dari kasih sayang seorang ibu. Mama juga menjadi papa baginya. Melindungi dan memenuhi segala kebutuhannya, walau dia akui mama tidak  bisa menggantikan posisi papa dalam hatinya.
“Tuhan, haruskah aku melupakan papa dan menganggapnya tak pernah ada dalam hidupku?” jerit suara hati gadis itu.
Betapa selama ini dia rindu lelaki itu. Bertahun tak putus-putusnya dia berdoa agar Tuhan mempertemukan dirinya dengan papa, tapi hanya kekecewaan yang dia dapatkan.
“Jangan pernah berhenti berdoa.” Chikara teringat ucapan guru sekolah Minggu-nya yang dulu pernah mengajarnya.
“Bertekunlah dalam doa dan yakinlah kalau Ia akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya.”
Kapankah? Hatinya bertanya lirih. Sampai kapankah ia harus berdoa dan menunggu?
Oto-san*…adakah kau ingat aku?  Kembali hatinya bertanya lirih.
Tuhan, aku menunggu dan terus menunggu hingga segala sesuatu indah pada waktunya….Chikara berkata lalu kembali terlelap.

Oto-san = papa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar