Selasa, 31 Mei 2011

CINTA YANG TERLUKA



            Angin sepoi – sepoi menjadi teman Rini menikmati senja di balkon kamar kos-nya di lantai dua. Langit berwarna merah keemasan ditimpa cahaya mentari   serasa enggan untuk beranjak dari tempatnya. Ah, seandainya Pras juga di sini menemaniku, batin Rini memikirkan kekasihnya.
            Tiba-tiba saja dia rindu pada Pras. Padahal baru tiga hari tidak bertemu tapi rasanya sudah seperti tiga abad. Pras, lelaki yang memberi warna indah pada hari-harinya sejak tiga bulan terakhir ini telah membuatnya jatuh cinta. Rasa itu kadang membuatnya  seperti gadis remaja yang dilanda kasmaran. Inginnya dia setiap hari bertemu dan mendengar suara Pras. Hatinya berdesir ketika ia mengenang saat Pras melamarnya tiga hari yang lalu sebelum ia berangkat dinas keluar kota.
            “Maukah kau menjadi istriku?” Pertanyaan yang tiba-tiba itu hampir saja membuat Rini yang sedang menyedot soda di gelasnya tersedak.
            “Apa?” Tanyanya seperti tak percaya akan pendengarannya.
            “Aku minta kamu jadi istriku.” Pras berkata sekali lagi. Membuat Rini diam mematung. Hatinya berdebar dan rasanya ia tengah berjalan di  awan-awan.
            “Hei, kau dengar aku tidak?”
            “Ya..ya..” Rini berkata gugup. “Tapi…tapi aku harus memikirkannya. Aku, aku masih kaget.” Sahutnya terus terang.
            “Aku akan menagih jawabanmu saat aku kembali,” ucap Pras.              
            “Rin, ada yang cari kamu di bawah.” Rara, sahabat satu kamarnya mengetuk pintu. Sontak membuat Rini tersadar dari lamunannya.
            “Siapa Ra?” tanyanya sambil membuka pintu kamarnya.
            “Tidak tahu, tapi cewek sih.”
            Rini akhirnya turun setelah  berdiri sebentar di depan cermin untuk melihat penampilannya.
            Seorang wanita yang umurnya mungkin lebih tua beberapa tahun darinya tersenyum saat Rini  muncul  di teras.
            “Hai, “ sapa Rini, “ apakah Anda yang mencari saya?”
            “Ya. “ Wanita itu menjawab.”Kenalkan, saya Kirana. Istri Pras.” Suara wanita itu amat lembut. Selembut wajah dan sikapnya. Hanya saja pernyataannya barusan membuat seluruh tubuh Rini lemas. Rasanya seluruh sendi-sendinya rontok. Petir seolah menyambar di sore yang cerah. Salah dengarkan dia?
            “Maaf, membuat Dik Rini kaget.” Wanita itu berkata. Dengan senyum lembutnya dia menatap Rini yang masih shock. “Bisakah kita bicara di tempat lain?” Wanita itu mengajak Rini keluar. Rini hanya bisa mengangguk.
            Di mobil keduanya diam membisu. Kirana sesekali melirik Rini yang menatap ke luar jendela. Wanita itu mengerti bagaimana perasaan Rini saat ini. Pasti sangat kacau. Sama kacaunya saat dia melihat untuk pertama kali gadis itu dan Pras bergandengan mesra di sebuah mall. Untungnya saat itu dia sendirian. Bagaimana seandainya kalau anak-anaknya melihat papa yang mereka kagumi itu berjalan bergandengan tangan dengan gadis lain?
            Kirana membelokkan mobilnya ke sebuah café tak jauh dari tempat kos Rini. Café itu sedang sepi pengunjung.  Kirana memilih tempat di pojok ruangan agar mereka leluasa berbicara.
             Rini menatap sekilas wajah lembut wanita di depannya. Cantik dan sangat menarik dengan rambut ikal hitamnya. Wanita itu tersenyum ketika pelayan datang membawa daftar menu.
            “Dik, mau minum apa?” Suara lembut itu menegur Rini.
            “Jeruk hangat saja.” Rini berkata. Pelayan mencatat pesanan Rini dan juga Kirana.
            Setelah pelayan pergi Kirana menatap Rini. “Kau cantik. “ Ucapnya.
            ”Pantas Mas Pras tergoda.”  Wanita itu tersenyum.
            “Tapi aku tidak menggodanya.” Sahut Rini cepat. Tidak tahu mengapa dia tidak suka dengan ucapan Kirana.
            “Jangan salah paham Dik.”  Rini mengerutkan kening.
            “Saya tidak bermaksud menuduh Adik menggoda Mas Pras.” Sambung wanita itu.
            “Kadang-kadang lelaki terlalu lemah untuk menapik pesona dari seorang gadis, bukan begitu?”Sejenak kemudian wanita itu diam. Menunduk, entah memikirkan apa.
            Rini memandang wanita itu, inginnya dia menembus pikiran Kirana  agar ia tahu apa yang ada di dalam isi hatinya.
“Akhir-akhir ini Mas Pras jarang pulang cepat. Bahkan anak-anak pun sudah mulai protes. “ Akhirnya wanita itu berkata sambil menerawang.
            “Sebelumnya, saya berpikir mungkin Mas Pras sibuk dengan pekerjaan kantornya, tapi ternyata…” Ada kesedihan di balik mata indahnya. Membuat Rini merasa bersalah.
             Tidak! Seharusnya aku tidak merasa bersalah. Hati Rini berontak. Selama ini bukankah dia tidak tahu kalau Pras sudah beristri? Selama ini bukankah Pras yang gencar mendekatinya? Sejak kecelakaan kecil di café tempatnya bekerja, ketika ia secara tidak sengaja menumpahkan air ke baju Pras .
Waktu itu ada seorang anak kecil yang berlari dan menubruk dirinya yang saat itu sedang menuangkan air ke dalam gelas Pras , air itu bukannya masuk ke gelas tapi malah membasahi tubuh lelaki itu.         Sejak itulah kedekatan mereka. Semua berjalan tanpa disengaja. Ketidaksengajaan yang mendatangkan warna-warni di hidupnya.
            “Saya tidak tahu harus berkata apa lagi saat anak-anak bertanya mengapa papa mereka selalu telat pulang. Mas Pras juga sudah berubah. Jadwal setiap hari Minggu yang dipakai untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak pun kini tidak ada lagi. Sampai akhirnya saya melihat Dik Rini dan Mas Pras di sebuah Mall beberapa hari yang lalu.”
            “Waktu itu saya memilih diam dan mengikuti kalian sampai ke tempat kos Dik Rini. Saya juga mencari tahu tentang Dik Rini dan hubungan Adik dengan Mas Pras. Maaf, kalau saya tidak sopan.” Kirana berkata.
            “Saya rasa lebih baik saya mencari kejelasan sebelum bertindak bukan? Lagipula mungkin hal ini terjadi karena salah saya juga. ”
            Ampun, tegarnya wanita ini. Rini tak habis pikir. Mengapa bukan dia yang disalahkan. Dia yang jelas-jelas telah merebut Pras, suami sekaligus ayah dari anak-anaknya, meski jelas itu bukan keinginannya. Rini tak berani membayangkan kalau seandainya istri Pras bukan Kirana, dia pasti sudah disembur dengan kata makian yang memanaskan kuping. Umpatan kotor pasti akan mampir untuknya. Belum lagi  tindakan brutal  yang mungkin akan diterimanya seperti serangan yang diterima Ratna. Istri muda seorang pengusaha yang dicari oleh istri tua pengusaha itu yang tinggal tak jauh dari tempat kos-nya. Rini bergidik membayangkan hal itu.
            “Dik Rini, maukah Dik Rini berkorban? Saya tahu, pasti susah untuk melupakan seseorang yang terlanjur hadir di hidup kita. Hanya saja, saya mohon Dik Rini mengerti.”
Berkorban? Itu artinya dia harus melupakan Pras. Bisakah? Padahal baru saja Pras memberinya mimpi-mimpi yang membawanya ke langit ke tujuh. Sekarang, apakah dia harus membiarkan dirinya terhempas?
            Tiga hari saja tanpa Pras telah membuat hari-harinya terasa kosong. Bagaimana mungkin dia harus melupakan Pras. Tidak! Aku terlanjur mencintainya.
            “Aku bisa saja hidup tanpa Mas Pras. Apalagi mengingat pengkhianatannya. Hanya saja aku tak mau anak-anakku menangis dan kehilangan kasih sayang ayahnya.” Kirana berkata lagi. Seolah dia mengerti apa yang dipikirkan Rini.
            “Mas Pras adalah panutan mereka. Ayah yang idolakan dan dibanggakan. Jika  tahu ayahnya selingkuh dan mengkhianati kepercayaan mereka, bukankah itu sama saja membunuh mereka?”
            Ucapan Kirana seakan membawa Rini ke masa lalu. Saat itu dia baru duduk di bangku tiga SMP. Suatu siang ketika Rini dan kawan-kawannya merayakan kelulusan mereka di salah satu mall, dia melihat ayahnya sedang bergandengan dengan wanita lain. Sementara tangannya yang lain memegang kantong belanjaan yang lumayan banyak.
            Saat itu senyum dan kebahagiaan dalam sekejap hilang dari dirinya. Ice cream coklat yang ada dimulutnya terasa pahit. Hatinya hancur, air mata menggenang di pelupuk matanya. Teman-temannya heran, saat melihat keceriaannya tiba-tiba lenyap. Untung mereka tidak sempat melihat papanya  berjalan dengan wanita lain. Sejak saat itu rasa sayang dan cintanya kepada papa hilang. Lenyap bagai embun di pagi hari takala matahari mulai menyinari. Dia benci, benci sekali terhadap lelaki itu. Juga wanita yang telah merebut papa dari dia dan adik-adiknya.       Celakanya, kini dia yang menjadi biang permasalahan dalam rumah tangga Pras. Karma-kah ini?
            “Dik Rini,” tegur Kirana ketika dilihatnya Rini diam.
            “Saya tidak memaksa. Sengaja  saya menemui Dik Rini saat Mas Pras keluar kota. Agar Dik Rini juga bisa berpikir jernih. Dik Rini masih muda. Masih banyak kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan. “
            Rini memandang wajah Kirana. Dalam kelembutan tatapannya, Rini bisa melihat harap yang terpancar. Bukan untuk dirinya, tapi untuk anak-anaknya. Wanita itu begitu tegar, begitu lembut, juga berhati mulia. Sama sekali dia tidak menyalahkan Rini atau pun Pras. Ia hanya menyalahkan dirinya sendiri.
            “Baiklah, Mbak. “Akhirnya Rini berkata. Ada kelegaan yang terpancar di wajah Kirana.            Meski Rini sendiri merasakan luka menganga di hatinya
****
Rini memandang mobil yang membawa Kirana meninggalkan tempat kos-nya. Wanita itu mengucapkan terima kasih padanya karena tidak membiarkan anak-anaknya membenci Pras. Rini pun berterima kasih , wanita itu tidak menaruh marah atau pun dendam karena sempat mencuri perhatian suaminya.
            Rini membuang nafas sejenak. Tiba-tiba  dia merasa dadanya terasa sesak. Mulai saat ini dia harus membuang bayangan Pras dari hidupnya. Pras, akankah lelaki itu mencarinya lagi jika tahu Kirana sudah mencium perselingkuhannya? Lamaran itu, apakah sebatas di bibir saja?
            Rini tak lagi peduli. Memang sebaiknya dia tidak lagi peduli, meski akan terasa sakit tapi itu lebih baik. Daripada dia terluka saat rasa itu kian dalam dan dia tak dapat lagi keluar dari perangkap cinta Pras. Dia juga tak ingin anak-anak Pras merasakan luka yang pernah ia rasakan saat melihat papanya bersama wanita lain.
            Pras, semoga kamu bisa belajar untuk setia, bisik hati Rini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar