Jumat, 06 Mei 2011

SENJA DI KUTA BALI



By: Helmy Fenisia


Senja mulai beranjak pergi, begitu pun pengunjung yang sedari tadi menikmati lembayung senja dengan sunsetnya yang indah.  Satu persatu meninggalkan pantai yang memberi pesan pada setiap orang agar tak bosan datang kembali. Kupandangi wajah Bryan,  matanya masih seperti tadi. Binar kekagumam belum juga hilang dari bola mata coklatnya. Meskipun cakrawala sudah berubah warna menjadi keabu-abuan tak juga ia ingin beranjak.
            “Are we going now?” Akhirnya aku bertanya padanya. Dia memandangku sambil tersenyum dan membawaku dalam pelukan eratnya.
            “You look like  the sunset my Dear,” ucapnya mencium keningku. Membawa desiran halus menjalar ke seluruh aliran darahku. Membuat wajahku merona merah.
            Perlahan kami berjalan meninggalkan Kuta Beach. Lampu-lampu penghias jalan sudah kembali terlihat meramaikan jalanan yang banyak dilalui turis-turis lokal maupun mancanegara.
            Pemilik toko-toko souvenir tampak sibuk melayani pembeli yang kebanyakan berambut pirang. Ada juga beberapa pembeli yang bermata sipit dan berpipi merah. Pasti mereka turis Asia.
            “Are you hungry?” Tanyaku pada Bryan saat kami sudah hampir dekat dengan sebuah pusat perbelanjaan yang juga memiliki stand makanan.
            “Yap!” Dia memegang perutnya sebelum menjawab . Tingkah konyolnya membuatku tersenyum.
            “Indonesian Food, or Western Food?”
            “Whatever, it’s up to you Honey.”  Aku tahu, meskipun dia menyerahkan menu makan malam padaku tapi pasti dia lebih suka kalau makan malam kali ini adalah makanan barat. Beberapa hari ini sudah terlalu sering dia makan masakan Indonesia yang meskipun enak tapi pasti membuatnya bosan.
            Akhirnya kami masuk ke restoran cepat saji yang menyediakan masakan barat. Lahap sekali dia, entah sudah lapar atau karena dia rindu dengan masakan yang sudah sering dimakannya..
            Setelah selesai makan aku mengajaknya berkeliling.
            “Honey, don’t you think we have to buy something for your aunt and her family coz they are so kind with us?”
            “Good idea, let me help you ok?” Ucapku  kemudian membantunya mencari apa yang pantas untuk keluarga tanteku yang sudah menampung kami selama aku dan Bryan menghabiskan waktu di Bali.
            Aku bangga pada kekasihku yang pandai sekali mengambil hati orang. Di Medan, papa dan mama pun dibuatnya senang. Malah papa yang semula tak menyukai hubungan  jarak jauhku dengannya kini jadi bisa menerimanya dengan baik. Saat mama menyarankan aku membawanya ke Bali, papa juga mendukung, asal aku bisa menjaga kepercayaan papa padaku dan harus tinggal di rumah tante dengan kamar terpisah.
            Sejujurnya hubunganku dengan Bryan amat unik. Bahkan tak terpikirkan sama sekali. Sebelumnya dia adalah sahabat penaku yang berasal dari Kanada.  Selama bertahun tahun menjadi sahabat pena kami saling curhat dan tukar cerita. Semula aku menganggapnya kakak laki laki yang tidak pernah kumiliki. Bercerita tentang cowok yang dekat denganku dan meminta pendapatnya. Pun tentang seseorang yang dari masa lalu yang tak pernah bisa kulupakan sama sekali. Hingga akhirnya pada tahun kedelapan  persahabatan kami dia mengungkapkan sesuatu yang membuatku terkejut. Tentang perasaannya padaku!
“It’s  been   four years i keep it, and i can’t hold this feeling again. I love You, Karin.”  Dia menyatakan cintanya yang sudah lama ia simpan untukku. Waktu itu aku nggak tahu harus ngomong apa. Aku jelas tidak bisa menerimanya karena hatiku telah kuserahkan kepada seseorang dari masa laluku. WIANDRA! Ya, padanya telah kutitipkan rinduku dan cintaku yang sudah berumur tiga belas tahun.  Aku sama sekali tidak bisa melupakan Wiandra, sejujurnya sampai kini pun belum. Saat itu aku berpikir jika aku menerima cowok lain dalam hidupku artinya aku mengkhianati Wiandra padahal cowok itu pun belum tentu mengingatku.
            Bryan mengerti saat aku menolaknya, selain karena Wiandra kami juga belum pernah bertemu sebelumnya. Begitupun  ia juga tak pernah bisa berhenti mencintaiku. Dia terus menungguku , hingga dua tahun kemudian dia kembali menyatakan perasaannya yang tulus padaku. Teman-temanku bilang kenapa aku tak mencoba saja membuka hatiku padanya. Lagipula dia begitu baik , sabar dan pengertian. Nggak ada cowok yang sanggup mendengar kisah cinta gadis yang dicintainya. Tapi Bryan selalu mendoakan agar aku bisa bertemu lagi dengan Wiandra. Meski sampai sekarang Wiandra bagai hilang lenyap di telan bumi sejak tiga belas tahun yang lalu.
            Suatu keajaiban diberikan Tuhan padaku suatu saat ketika aku kehilangan kabar dari Bryan, hampir enam bulan tak ada kabar darinya. Dan perasaan kehilangan membuatku gelisah dan berharap. Dan tiba-tiba saja ia menelponku di suatu malam dan aku menangis karena bahagia bisa kembali mendengar suaranya.
            Tiba-tiba saja aku merasakan perasaan yang sudah tiga belas tahun tidak kurasakan . Hatiku berdebar dan darahku berdesir saat ia menyatakan rindu dan cintanya. Dan kini, sudah dua tahun ia menjadi kekasihku. Meski baru sekali ini dia datang padaku, namun ia telah menunjukkan keseriusannya pada kedua orang tuaku. Ia ingin menjadikan aku istrinya.
            “Hei Honey, i think this is  good for you.” Bryan menunjukkan sebuah gaun hitam untukku.
            “You have to try, i like to see you with this gown. You must be so beautiful.” 
            “Or may be am i ?” Dia mengangkat gaun itu ke atas bahunya dan bergaya seperti seorang wanita.
            Aku memukul perutnya yang mulai kelihatan berlemak sambil tertawa. Dia juga tertawa dan memelukku. Kemudian menemaniku ke kamar ganti.
            “Ok, i will try first. Don’t go anywhere ok.”
            “Yes Maam.”  Kembali dia membuatku tertawa.
            “Bryan...” Aku keluar dari kamar ganti dengan gaun hitam yang kucoba.
            “Perfect!” Ucapnya memujiku.
            Setelah berganti kembali dengan baju yang kupakai saat datang tadi aku keluar dari kamar ganti, tapi aku terpaku saat melihat seorang lelaki juga keluar dari kamar ganti sebelah.
            Wi...tak sadar aku menyebut nama itu. Meski sudah tiga belas tahun berlalu namun aku masih bisa mengingat jelas pada  mata bulat yang selalu memandangku ramah. Dan juga tahi lalat yang menempel di kening kirinya.
            Aku hampir limbung, tapi untunglah Wiandra dan juga Bryan dengan sigap menopangku.
            “What happened Honey?” Bryan tampak khawatir padaku. Sedang mataku tak lepas memandang Wiandra. Aku takut tak dapat melihatnya lagi seperti tiga  belas tahun yang lalu. Aku tak ingin ia menghilang dari pandanganku.
            “Kamu nggak apa-apa?” Tanya Wiandra sama khawatirnya.
            “Tidak, aku hanya...”
            “Sorry i have to take her to the doctor.” Bryan sungguh-sungguh khawatir tampaknya segera ia memelukku dan menggendongku.
            “Please Bryan, no need.”  Aku meronta saat ia  menggendongku.
            “But...”
            “Ok, we go home now.” Ucapnya setengah memaksa meski aku menolak.
            Dengan enggan aku mengikuti langkah Bryan di sampingku. Air mata hampir menetes menahan perasaan kehilangan untuk yang kedua kalinya. Entah apakah aku masih bisa bertemu dengan Wiandra atau tidak.
            “Honey, are you ok?” Bryan menyentuh wajahku lembut saat kami berada di dalam mobil.
            “I’m fine, don’t worry.”
            Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan perjumpaanku dengan Wiandra. Entah apakah ia masih mengingatku atau tidak. 
            Aku terkejut melihat Bryan masih berada di balkon di lantai dua ketika aku ingin mengambil segelas air di dapur. Padahal hampir jam satu pagi.
            “Bryan...” Lelaki itu menoleh dan tersenyum padaku.
            “Why you haven’t sleep , it’s  late now.”
            “I just worry about you, thats why i can’t sleep.” Dia memandangku. Selalu saja ia terlalu berlebih mengkhawatirkan diriku, bahkan pernah sekali saat aku  mengatakan sakit maag-ku kumat ia menelponku tiga kali dalam sehari. Padahal aku tahu sambungan jarak jauh pasti mahal sekali.
            “I’m fine Bryan, dont worry about me. I can take good care of myself.” Aku menghiburnya.
            “I love you, Honey.” Dia mencium tanganku dan membawaku dalam pelukannya. Entah apa yang dirasakan di dalam dada lelaki ini, inginnya aku menyelam ke dasar hatinya. Sejujurnya aku tak pernah mengerti mengapa dia bisa jatuh cinta begitu dalam padaku.Bahkan jauh sebelum kami bertemu.
            Keesokan paginya setelah sarapan sebentar, tante mengatakan ada telepon untukku. Dan aku sangat terkejut saat mengetahui siapa penelpon itu.
            “Aku Wiandra, senang dapat kembali melihatmu.” Ucapnya padaku.
            “Tapi..dari mana kau tahu nomor telepon di sini?”
            “Aku mengikutimu kemarin. Apakah yang kemarin itu adalah pacarmu atau suamimu?”
            “Oh Bryan, dia...”
            “Aku tak ingin tahu tentangnya Karin.” Wiandra berkata, membuatku bingung. Bukankah tadi dia yang bertanya tentang Bryan.
            “Baiklah,” ucapku akhirnya. “Ng...apakah kamu baik-baik saja selama ini?”
            “Ya, “ sahutnya. “ Kau tahu Karin, aku pernah mencarimu dua tahun setelah kepindahanku. Tapi rupanya kamu sudah pindah.”
            “Papa dipindah tugaskan ke Medan sebelas tahun yang lalu. Dan sampai sekarang kami masih di sana. Ini adalah rumah tanteku.”
            “Ng, apakah kita bisa bertemu, sebentar saja.” Ada harap di suaranya dan aku tak ingin mengecewakannya. Aku..aku juga berharap dapat melihatnya lagi.
            “Aku tahu kau suka sekali pizza kan ,  jadi kita bertemu di sana jam dua belas siang. ”  Dia berkata.
            Aku ingin sekali bertemu dengannya, tapi bagaimana dengan Bryan? Aku tak mungkin meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Ia pasti akan bertanya ke mana aku pergi.
            “Tapi..”
            “Ayolah Karin, setelah tiga belas tahun, tidak bisakah memberi waktu sedikit untukku?” Wiandra setengah memaksa.
            “Baiklah Wi, aku akan datang.” Akhirnya aku memenuhi permintaannya.
            “Who’s that Hon, from your parents?” Tiba-tiba saja Bryan duduk di sampingku.
            “Eh..yeah. My mom called me just now.” Kebohongan pertama yang kulakukan pada Bryan. Selama sepuluh tahun , tak pernah ada yang kusimpan darinya. Tapi hari ini , karena seorang Wiandra aku telah membohongi Bryan.
            “Bryan, i have to meet my ex classmate  this afternoon. “ Bilangku tanpa berani menatap matanya.
            “Good, so what time we will go ?” Dia tampak semangat.
            “Only me Bryan, i will go alone.” Ucapku sambil memberanikan diri menatapnya.
            “Well...” Aku melihat keheranan dan kekecewaan di matanya. “May be you guys haven’t met for long time and need times for talk. So i have to allow you then.”  Akhirnya dia berucap.
            “Thanks Bryan.” Aku tersenyum gembira.
            “By the way Bryan, i will ask Made to accompany you when i’m not around. ” Aku tak ingin Bryan kesepian dan bosan di rumah. Aku akan meminta sepupuku untuk menemaninya selama aku tidak ada.
            Aku berdebar saat taxi yang membawaku sudah berhenti tepat di depan PIZZA HUT. Perlahan aku melangkah masuk.
            Seulas senyum milik Wiandra menyambutku, mata bulatnya berbinar di timpa cahaya remang-remang lampu di sudut ruangan itu.
            “Aku senang kau datang Karin.”  Wiandra membawaku duduk di sampingnya. 
            “Mau pesan  apa Rin?”
            Aku menggeleng. Rasanya kebahagiaan bertemu Wiandra dan rasa berdosaku karena membohongi Bryan telah melenyapkan selera makanku.
            “Jangan bilang kalau kamu sedang diet.” Aku kembali menggeleng.
            “Hanya sedang tidak selera Wi, tapi aku ingin pesan ice lemon tea.” Ucapku.
            Setelah  memesan senampan pizza Wi memandangku lekat. “Kenapa Rin, kok lesu. Apa tidak senang melihatku?”
            Tentu saja aku senang, bahkan sangat senang. Tapi aku tak ingin dia tahu perasaanku. Bisa ge-er dia
Aku tersenyum sebelum akhirnya berkata,” Bagaimana keadaanmu Wi, pacar atau istrimu?”
“Kamu bertanya atau menyindir nih?” Dia tersenyum. “Aku hampir gila memikirkan kamu, nggak sempat mikirin yang lain Rin.”
“Mungkin nggak seperti kamu ya?” Kali ini dia yang benar-benar menyindirku.
“Honey, mesra sekali cara panggilnya.” Ucapnya lagi .
“Sudahlah Wi, kau ingin aku pergi dari sini?” Aku mengambil tasku, tapi dengan sigap ia meraih tanganku.
“Maaf, aku ...aku hanya cemburu dan marah pada diriku. Aku marah karena ternyata kamu nggak pernah mikirin aku sedang aku...” Dapat kulihat luka di matanya.
Tuhan, seandainya ia tahu aku juga selalu menunggu dan memikirkannya hingga saat ini. Segores luka memerihkan hatiku. Mengapa, mengapa tidak berjumpa sebelum Bryan datang. Mengapa harus sekarang, saat aku sudah menjadi milik Bryan.
Akhirnya Wiandra tidak menyentuh sedikitpun pesanan makanannya. Ia bercerita ketika ia dan keluarganya tinggal  di Jerman ia selalu rindu padaku. Tapi sialnya sebuah koper di mana ia meletakkan semua barang yang mengandung nilai historis tentang kebersamaan kami hilang saat transit di Singapura. Begitupun alamat dan nomor teleponku. Saat kembali dua tahun kemudian, aku sudah pindah. Ia sudah mencari informasi mengenai diriku pada teman-teman, tapi tidak ada yang tahu. Memang saat itu kepindahanku pun mendadak, hingga tak sempat memberitahu teman-temanku. Hanya pada Ratna saja sahabat baikku. Tapi setelah setahun kepindahanku ke Medan , ia melanjutkan sekolah di Malaysia.
“Maafkan aku Wi.” Hanya itu yang dapat kuucapkan. “Aku bahkan berpikir mungkin kamu yang melupakan aku.” Aku menunduk.
“Katakan Karin, masihkah ada aku di hatimu? Masih adakah kenangan kita yang tersisa di benakmu?” Dia memandangku.
Kenangan demi kenangan bersama Wiandra saat dulu kembali berputar. Aku ketua OSIS dan Wiandra cowok badung di sekolah selalu saja bermusuhan. Setiap bertemu muka selalu buang pandang. Itu semua karena dia yang selalu mencela apa saja yang kulakukan bersama teman-temanku.  Saat aku mengurus mading sekolah dia juga complain karena menurutnya bahan yang disajikan itu-itu saja. Saat itu aku tersinggung, “Dasar elu aja yang nggak pernah baca, pake protes segala. “
“Kalo lu emang hebat, tunjukkin dong hasil karya elu, jangan bisanya complain doang.” Sahutku nyaring sambil menyindirnya. Teman-temanku yang mendengar tersenyum. Tapi dia juga nggak mau kalah.
“Ini..jangan sampe nggak ditempelin loh, gue sengaja nulis buat seseorang.” Esoknya dia menyerahkan sebuah puisi padaku.
“Cuit-cuit, bisa juga lu bikin puisi. Ato jangan-jangan ini hasil kopekan.” Lagi-lagi aku menyindir . Herannya kali ini dia sama sekali tidak mengeluarkan suara.
“Tapi nggak papa deh, dari pada isi ati lu nggak kesampean, gue bakal tempel karya lu di mading.”Ucapku saat melihatnya masih diam.
Saat aku membaca puisi yang digoreskan di lembar kertas surat aku dapat melihat ketulusan di dalam tulisannya.

Maaf...

Itu yang sering ingin kuucapkan

Saat aku membuatmu kesal,

Saat aku membuat senyummu memudar


Maaf...
karena ada rasa yang tak layak hadir untukmu
Saat aku melihat binar di kedua mata bulatmu
Yang mengalirkan desiran halus di setiap nadiku

Maaf...
Hanya kata itu yang terucap
Karena aku tak bisa menutupi rasa yang kini ada
Kalau aku suka kamu....
                                                            AWIANDRA


Aku mencuri pandang  ke arahnya yang berkumpul tak jauh dengan teman-temannya di dekat kantin. Dan wajahku memerah karena ketahuan olehnya.
“Itu khusus untukmu.” Suaranya mengejutkan  saat aku hendak meninggalkan sekolah siang itu . Dia berdiri di dinding gerbang sekolah.
Aku memandangnya tak mengerti. “Puisi itu untukmu.” Lanjutnya tanpa berani memandangku.
Agak kaget juga dengan pengakuannya, tapi akhirnya aku tersenyum,”Kalau begitu antar aku pulang.” Sahutku sambil melanjutkan langkahku.  Dan desiran yang sama kurasakan saat ia meraih jemariku dan menggandeng tanganku.
Dan seperti yang kuduga, teman-teman satu sekolah menjadi heboh dengan kedekatan kami.
“Karin, katakanlah, apakah rasa itu masih ada untukku?” Pertanyaan Wiandra menyadarkan aku dari lamunan panjangku. Aku hanya bisa menunduk.
“Indah bukan, jika saja hari-hari ke depan bisa kita lalui  bersama.”  Wiandra menatapku. 
Aku menghela nafas panjang, mengapa hati dan pikiranku tiba-tiba terasa begitu lelah.
“Wi, aku harus pulang sekarang.” Kataku tanpa menjawab pertanyaannya. Sudah satu jam lebih aku bersama dia di sini.
            “Apakah dia menunggumu di rumah?”
            “Kumohon Karin, temanilah aku sebentar lagi. “ Pinta Wiandra. Aku memandang wajahnya. Tuhan, betapa aku rindu padanya tapi bagaimana dengan Bryan, dia pasti sangat  khawatir padaku.
            Dan tiba-tiba saja ponselku berbunyi, “Ha...hallo.” Aku menjawab telepon Bryan dengan gugup.
            “I’m with friend now, yeah, i will eat well don’t worry.” Jawabku saat ia bertanya di mana aku dan berpesan padaku untuk makan siang. Dia tahu kalau aku sering bermasalah dengan maag-ku. Kadang aku merasa perhatian Bryan terlalu berlebihan padaku.
            “Does Made accompany you there?”
            “Yeah , we will go out for amoment.” Sahut Bryan senang, tampaknya dia menikmati waktu bersama Made, syukurlah.
            “Dari kekasihmu?”
            “Ya.”
            “Apakah dia mencintaimu?”
            “Sangat.” Ucapku tanpa bermaksud menyakitinya.
            “Seperti aku?” Wiandra menatapku.
            “Sudahlah Wi, bisakah kita tidak membicarakan hal itu lagi?”
            “Tapi Karin, aku yakin kalau kau masih mencintaiku.” Wiandra meraih tanganku.
            Dan karena aku masih mencintainya, aku akhirnya mengiyakan ajakannya untuk menemani dia ke Tanah Lot. Senyum dan tawa yang kurindukan selama tiga belas tahun  kini kembali terlihat dan Wiandra selalu saja berusaha membuatku teringat pada kebiasaan kami dulu.  Menawar barang tapi tak pernah berniat membeli.
Dan saat Wiandra memesan es jeruk  dan bakso untuk kami berdua, aku kembali terkenang saat sekolah dulu. Setiap Sabtu sekolah bubar lebih cepat dan kami serta gengnya selalu menyerbu warung bakso pak Irjo.
            Kini aku dan dia kembali terlihat seperti remaja. Bahkan mungkin orang-orang sekitarpun memandang heran pada tingkah kami. Saat seorang anak lewat di depan kami dengan setumpuk kartu pos di tangannya ia memanggil. Kupikir ia hendak mengerjai anak itu tanpa bermaksud membeli. Tapi rupanya ia sungguh-sungguh, malah memberi uang lebih pada bocah kecil itu.
            Kulihat ia menuliskan sesuatu di salah satu lembar kartu pos itu.
            Cintaku masih seperti dulu
            Rinduku masih selalu utuh
            Dan harapku...
            Akankah menjadi awan kelabu?

            “Untukmu.” Dia menyerahkan kartu pos itu padaku.  Aku menunduk saat membacanya.
            “Meskipun jawaban itu mengecewakan, aku ingin mendengarnya dari bibirmu Karin.” Wiandra memandangku.
            “Aku tak tahu harus menjawab apa Wi.”
            “Apakah kau mencintainya?” Kembali aku tak bisa menjawab pertanyaannya.
            Apakah aku mencintai Bryan? Aku juga tak mengerti hatiku. Yang aku rasakan saat bersama Bryan, adalah rasa bahagia dan senang diperhatikan olehnya. Kadang sikapnya menghadirkan debar dan desiran aneh di hatiku. Mungkin itu cinta, tapi benarkah...? lalu apa yang kurasakan sekarang ini pada Wiandra?
            “Aku harus pulang sekarang.” Aku melirik jam di tanganku.
            “Baiklah, aku akan mengantarmu pulang sekarang.”
            Aku dan Wiandra diam membisu selama perjalanan. Suara kelompok MLTR dengan lagu Ghost of You menjadi teman perjalanan kami.
            “Lagu ini seperti diriku Karin, yang nggak bisa mengusir bayanganmu. Aku sendiri pun tak mengerti mengapa.”
            Aku menarik nafas panjang saat mendengar perkataannya.  Untunglah Ghost of You sudah selesai dinyanyikan.
            “God Honey, you make me worry.”  Bryan menyambutku.
            “Karin, kenapa tidak mengaktifkan ponselmu?” Made menegurku. “Kau tahu  jam berapa sekarang?”
            “Maaf Made, ponselku tidak ada baterai . Lagipula aku kan sudah bilang kalau aku pergi dengan temanku.”
            “Ya, tapi kau tahu Bryan bukan main mencemaskanmu.” Made kembali mengomel.
            “Ah dia itu, selalu saja menganggap aku seperti anak kecil.”
            “Bukan begitu Rin, itu karena dia sayang kamu.” Kali ini Mbak Ida Oka menyahut. Entah dari mana ia muncul.
            “Katakan padaku siapa laki-laki yang mengantarmu itu?” Aku pura-pura tak mengerti. Tapi akhirnya tak bisa mengelak karena Mbak Ida melihatku bersama Wiandra.
            “Dia temanku Mbak.”
            “Tapi kenapa kok perginya lama banget, cuma berdua lagi. Mbak pikir kamu pergi dengan teman perempuanmu. Lain kali kau harus mengajak Bryan juga.”  Ucap Mbak Ida.
            Keesokan harinya Wiandra kembali menghubungiku dan memintaku untuk menemaninya. Meski tak tahu harus mencari alasan apa lagi pada Bryan, tapi akhirnya kuiyakan juga ajakannya.
            “Aku tahu kau tak akan menolak permintaanku.”  Ucapnya saat keesokan harinya kami bertemu di pantai Kuta.
            “Kau tahu aku telah berbohong banyak padanya.” Aku menatap laut yang menanti senja.
            “Ya, dan aku tahu mengapa.”  Ucapnya .Sekilas kupandang wajah Wiandra. Ada kebahagiaan yang kulihat di sana.
            “Kau tahu, aku ingin setiap hari menunggu senja berdua denganmu.” Wiandra memandangku sambil tersenyum lembut. Sekali lagi aku menghela nafas berat.
            Malamnya saat aku tiba di rumah, aku melihat Bryan sedang merokok di balkon lantai dua. Buru-buru aku menghampirinya, meraih rokok yang ada di bibirnya dan melemparkannya jauh.
            “Why, u never like this before?” Aku  menatapnya. Suntuk sekali wajahnya.
            “You never like this too before. Go alone and  home so late...”
            “ Bryan, i’m not alone. I went  with friend.”
            “But you never let me know your friend. He is a man, right? Thats why you never let me know. “
            “No. “ Aku mencoba membela diri.
            “But i saw you with a man Karin, you’ve lied to me.”  Ada luka yang kulihat di matanya.
            “We have to get back to Medan tomorrow.” Ucapnya sambil meninggalkan aku sendiri.            Aku terpaku di tempatku. Kusadari sejak bertemu dengan Wiandra aku telah mengabaikannya bahkan membohonginya terus menerus.
 Malam terasa amat panjang dan melelahkan. Tapi entah mengapa mata ini masih tak bisa dipejamkan. Saat hendak mencari angin di balkon, lagi-lagi aku melihat Bryan duduk termenung sendiri sambil mengisap rokok. Selama ini aku tahu dia tak  pernah merokok. Lihatlah, ia bahkan tersedak karena asap yang terlalu banyak diisapnya.
            “Bryan, “ aku mengelus pundaknya. Kembali aku membuang rokoknya.
            Dia memandangku dengan mata coklatnya yang lembut.
            “Honey, do you really love me?” Tanyanya, aku tahu ia tidak meragukan diriku. Yang ia ragukan adalah dirinya  tidak bisa membuatku jatuh cinta padanya, begitulah yang ia katakan saat aku bertanya mengapa ia tanyakan itu padaku  suatu hari saat aku bercerita kalau aku bermimpi tentang Wiandra. Perlahan air mataku merebak. Aku tahu aku telah menyakiti dan mengkhianatinya.
            Meski tak banyak kenangan yang aku lalui bersama Bryan, namun cintanya yang tulus telah memberiku kekuatan. Perhatian dan rasa khawatirnya kadang membuatku sebal, tapi saat aku memandang wajahnya yang lega ketika aku ada di  hadapannya, aku tahu itu semua karena cintanya yang dalam padaku.
            “Yeah, i do love you Bryan..” Dengan air mata aku menjawabnya. Aku ingin memberi seluruh cinta yang tersisa ini padanya. Bryan memelukku erat.
            “I’m sorry for the things i have done. I promise will not do it again.”  Ucapku .
            “It’s ok Honey, i understand you.” Bryan mencium keningku dan memelukku lebih erat lagi.
            Wiandra kembali mengajakku bertemu keesokkan sorenya.  Tapi dia terkejut saat aku datang bersama Bryan.
            “Kami akan pulang besok. Sebenarnya hari ini,  tapi Bryan  ingin berkenalan denganmu.”  Akhirnya mereka berkenalan.  Tapi setelah itu Bryan memberiku waktu untuk berbicara untuk yang terakhir kalinya dengan Wiandra.
            Tak banyak yang kami bicarakan sore itu, Wiandra lebih banyak diam. Sesekali ia memandangku tapi aku pura-pura tak melihat. Dan saat mata kami bertemu untuk yang terakhir kalinya aku melihat luka yang dalam di hatinya.
            “Maafkan aku Wi.”  Ucapku sambil menunduk. “Tapi semuanya sudah terlambat.”
            “Aku harus pergi. Bryan sudah menungguku.” Aku memandang Bryan yang menungguku sambil berjalan menuju pantai.  Aku melangkah meninggalkan Wiandra, dan air mata menjadi teman saat aku  melangkah menuju pantai.
            Bryan menghampiriku dan memelukku. Ia memberiku kekuatan yang kubutuhkan. Di dadanya kutumpahkan tangis dan kesedihanku. Sekali lagi aku harus kehilangan Wiandra.
            “Honey, if you can’t let him go...i will allow you with him.”  Dia berkata sambil menghapus air mataku.
            “No.” Aku menggeleng.
            “Honey, i love you and i don’t want to make you cry.” Kembali dia berkata.
            “I will cry if you say that again.”  Aku menjawab sambil memandangnya.
            “Oh Honey, you know how much i love you.”  Dia membawaku dalam pelukan eratnya.
            “I love you too.”  Aku membalas pelukannya.
            Dan senja di Kuta Bali menjadi saksi kesedihan dan juga kebahagiaan yang kurasakan saat ini. Semoga Wiandra dapat melupakan aku dan mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar